Monday, December 1, 2008

sang negarawan mencoba sukses kembali

sutrisno
Mantan Wakil Presiden ini dikenal sebagai seorang negarawan yang jujur, bersahaja, loyal, berdedikasi tinggi dan berpendirian teguh. Putra terbaik bangsa ini bukanlah seorang yang haus jabatan (ambisius) yang mau menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan tertentu. Mantan Panglima ABRI dan Ajudan Presiden Soeharto ini terbilang loyal kepada atasan namun selalu teguh pada pendirian. Ia selalu bijak dan bajik mengambil posisi sesuai batas-batas kepantasan tanggung jawabnya.

Kendati ia begitu loyal dan dekat dengan Pak Harto, baik sebagai ajudan dan Panglima ABRI (TNI) maupun sebagai Wakil Presiden, ia tetap bisa menjaga posisi. Seperti, tidak ikut dalam berbagai yayasan yang didirikan Pak Harto. Ia juga bisa menjaga jarak dengan para konglomerat yang dikenal dekat dengan penguasa ketika itu.

Maka tak heran ketika pencalonannya sebagai wakil presiden oleh Fraksi ABRI, Preisden Soeharto disebut-sebut kurang menyetujuinya dan merasa di-fait accompli. Namun walaupun begitu, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai Wapres dengan penuh dedikasi dan loyalitas.

Kemudian, pada periode berikutnya, 1997, banyak pengusaha dan profesional yang menghendakinya tetap menjadi wakil presiden yang suatu ketika dapat menggantikan Pak Harto sebagai Presiden. Namun Pak Harto dan Golongan Karya yang telah didominasi kalangan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) lebih memilih BJ Habibie. Ketika hal ini diisyaratkan bahwa wakil presiden harus menguasai teknologi, yang mengarah kepada BJ Habibie, pasar langsung bereaksi negatif yang membuat nilai rupiah makin merosot tajam hingga mencapai Rp17.000 per 1 US dollar.

Namun Pak Harto tak merespon keinginan pasar tersebut dan tetap memilih BJ Habibie menjadi wakil presiden yang kemudian bersama 14 menteri mempraktekkan ungkapan politik bahwa tidak ada persahabatan yang abadi tetapi kepentinganlah yang abadi.

Tidak demikian dengan Pak Try. Kendati Pak Harto lebih memilih BJ Habibie menjadi Wakil Presiden Kabinet Pembangunan VII, Try Sutrisno tetap membina hubungan baik dengan Pak Harto. Bahkan ketika Pak Harto ‘ditinggalkan’ BJ Habibie dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII yang mendorong Pak Harto memilih mengundurkan diri (lengser), Try Sutrisno tetap menghormati Pak Harto. Ia seorang dari sedikit pejabat Orde Baru yang tetap memberi dorongan moril dengan mengunjungi Pak Harto setelah lengser.

Padahal ketika itu, pasar masih menghendekakinya untuk tampil sebagai calon presiden. Dan ketika itu orang menduga-duga maksud keterlibatannya di Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) adalah dalam rangka pencalonannya menjadi presiden. Tetapi ia langsung menjawab bahwa ia tidak perlu dicalonkan menjadi presiden karena merasa sudah terlalu tua untuk itu.

Baginya ladang pengabdian tidak harus selalu ada di puncak kekuasaan. Melainkan sebagai seorang putera bangsa prajurit pejuang, ia bertekad mengabdi sepanjang hayat dalam berbagai bidang. Try Sutrisno, Purnawirawan Jenderal TNI AD yang menjadi Wakil Presiden masa pemerintahan Soeharto pada Kabinet Pembangunan VI, ini setelah pensiun dari berbagai tugas yang dibebankan negara, masih bergelut dan memimpin beberapa organisasi seperti, Pepabri, Lembaga Persahabatan Indonesia-Malaysia (PRIMA), pembina perkumpulan keagamaan “Spiritual Journeyff”, penasehat Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman yang bergerak di bidang pendidikan, yang membawahi UPN, Veteran dan SMU Taruna Nusantara.

Dan sejak bergulirnya reformasi, dikenal juga sebagai salah seorang Penasehat dan Sesepuh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dalam menuangkan sumbangan pemikiran dan aspirasinya bagi bangsa dan negara, ia pun aktif dalam "Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya”.

Pesuruh dan Pengasong
Mantan Pangdam Jaya kelahiran Surabaya, 15 November 1935, ini berasal dari keluarga sederhana. Subandi, ayahnya bekerja sebagai pengemudi mobil Ambulance PGD/DKK (Dinas Kesehatan Kota), dan Mardhiyah ibundanya seorang ibu rumah tangga yang sangat tekun mengasuh putra/putrinya. Orang tuanya dikenal sebagai pasangan suami-isteri yang harmonis, jujur dan berdisiplin serta menerapkan sistem pendidikan yang keras bernuansa agamis. Pendidikan yang kemudian tertanam kepada Try, putera ketiga mereka dan saudara-saudaranya.

Lahir sebelum kemerdekaan dan melewati masa remajanya pada saat revolusi, membuat masa kecil Try boleh dikatakan cukup keras. Perang dan mengungsi menjadi satu sejarah yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Ketika Pasukan Sekutu, yang di dalamnya termasuk tentara Belanda mendarat dan menduduki kota Surabaya antara tahun 1946-1948, para Pejuang Republik melakukan perlawanan yang gigih dan gagah berani.

Namun karena kekuatan Pasukan Sekutu dengan Pasukan Pejuang tidak seimbang, akhirnya para pejuang menarik diri dan menyiapkan perang berlarut dengan menggunakan strategi dan taktik perang gerilya bersama seluruh rakyat. Dalam situasi seperti itu, masyarakat kota Surabaya, termasuk keluarga Try, akhirnya harus mengungsi ke luar kota. Keluarganya ketika itu mengungsi ke Mojokerto. Pak Subandi, sang ayah kemudian selama mengungsi bergabung di Bagian Kesehatan Batalyon Poncowati di Purwoasri, Kediri.

Try yang baru berusia 11 tahun waktu itu, terpaksa sekolah terhenti, karena harus mencari nafkah untuk meringankan beban hidup keluarga dengan menjual air minum, kemudian menjual koran, dan akhirnya menjadi penjual rokok di stasiun Mojokerto.

Dua tahun dalam pengungsian, tepatnya pada tahun 1948, bertepatan dengan usianya yang baru 13 tahun, ia diangkat sebagai Tobang (pesuruh) di Batalyon Poncowati, kemudian menjadi kurir sekaligus sebagai anggota PD (Penyelidik Dalam) dengan tugas mencari informasi ke daerah pendudukan Belanda dan kemudian menyampaikannya kepada para pejuang Republik, sembari membawa perbekalan dan obat-obatan.

Keadaan mulai tenang sehubungan setelah adanya pengakuan kedaulatan yakni pada tahun 1949, keluarganya kembali ke Surabaya. Try kemudian melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sekitar 3 tahun ke Perguruan Taman Siswa, sekolahnya sebelumnya pada zaman Jepang, sambil membantu kakaknya berjualan ayam di pasar Genteng. Demikian juga dengan ayahnya, kembali bekerja di Dinas Kesehatan Kota. Tidak berdinas di lingkungan Tentara/TNI lagi sebagaimana masa pengungsian. Sang ayah akhirnya pensiun sebagai Pegawai Negeri dari Dinas Kesehatan Kota pada tahun 1953.

Tempaan masa perang yang keras dan sarat dengan tantangan inilah, yang dikemudian hari membentuk watak dan mental kepejuangan Try Sutrisno yang teguh, tegar, dan penuh semangat dalam menghadapi setiap permasalahan. Demikian pula menempah sifat dalam jiwanya sehingga selalu sederhana dalam segala hal, tidak mudah terhanyut oleh arus trend masanya, tidak mudah tergiur dan terseret oleh iming-iming yang bersifat keduniawian, serta senantiasa berpegang pada prinsip kejujuran, kebenaran dan keadilan.

Sifatnya yang sejak kecil selalu baik, jujur, setia, dan suka menolong orang yang dalam kesulitan, itu membuat kawan-kawannya selalu menyenangi dan menyeganinya. Dan karena kesetiaannya dalam berteman, membuat teman-temannya selalu menjadikannya sebagai pemimpin kelompoknya.

Olahraga yang disenanginya, terutama sejak SMP adalah bersepeda, pencak silat, angkat besi dan renang. Dari olahraga angkat besi sudah ditekuninya dengan serius sejak SMP, membuat bentuk tubuhnya atletis bagai huruf "V”. Bentuk bahu dan pundaknya yang kekar mengembang dengan otot-otot yang keras menonjol seperti yang terlihat sampai hari tuanya itu merupakan hasil dari kegemarannya pada olahraga angkat besi tersebut.

Setamat dari SMP II Surabaya, ia melanjut ke SMA II. Sekolahnya yang selalu terputus-putus dan tersendat-sendat terutama ketika di SR akibat suasana perang di masa itu, membuatnya tamat SMA tahun 1956, pada saat usianya sudah 21 tahun.

Ia disenangi oleh kawan-kawannya sejak si abngku SR, SMP dan SMA. Bukan saja karena pribadinya yang baik, jujur, setia dan dermawan, tetapi karena postur tubuhnya yang gagah dengan wajah bersih dan tampan bagai Elvis Presley. Tak heran bila banyak di antara teman-teman wanita di sekolahnya, baik sewaktu masih di SMP maupun di SMA, yang secara diam-diam maupun terang-terangan sebagaimana umumnya remaja, menaruh rasa simpati dan bahkan tak sedikit yang jatuh hati kepadanya.

Masuk Tentara
Selepas dari SMA (1956), Try yang sejak semula sangat ingin menjadi tentara, serta ingin mengabdikan segenap jiwa raganya kepada nusa dan bangsa, tertarik untuk mendaftarkan diri dan mengikuti test masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad). Setelah melewati test akademi yang dilaksanakan di Surabaya, Try dinyatakan lulus. Tapi kemudian dalam test kesehatan yang dilaksanakan di Malang, ia dinyatakan tidak memenuhi syarat. Namun atas perhatian dan perintah dari Jenderal GPH Djuatikusumo ia mendapatkan panggilan kembali. Bersama yang lainnya ia kemudian dikirim ke Bandung untuk mengikuti Phsychotest. Akhirnya Try dinyatakan diterima sebagai Taruna Akademi Genie yang kemudian berubah nama menjadi Atekad.

Di Atekad, Try mengikuti pendidikan pada Cabang Zeni. Ketika berpangkat Kopral Taruna, Try ditugaskan ke Aceh. Kemudian pada saat menjadi Sersan Taruna, dia bersama teman-temannya sempat dikirim ke daerah Operasi Penumpasan Pemberontakan PRRI/Permesta di daerah Sumbar. Mayjen TNI GPH Djatikusumo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat (Dirziad) sengaja mengirimkan para taruna ke daerah operasi yang sebenarnya, agar mereka memiliki bekal pengalaman nyata pada pelaksanaan tugasnya kelak, pengalaman yang tak mungkin didapatkan di Lembaga Pendidikan.

Perjalanan Karir
Lulus dari Atekad di tahun 1959, dengan pangkat Letda Czi, ia ditugaskan pertama kali di Kodam IV /Sriwijaya sebagai Dan Ton Zipur. Kemudian pada tahun 1962 ditugaskan pada Yon Zikon Komando Mandala di Kendari. Seusai tugas Mandala, ia yang waktu itu sudah berpangkat Lettu Czi kembali ke satuan Induknya Kodam IV/Sriwijaya sebagai Dan Kima Yon Zikon-2/Dam IV SWJ. Pada tahun 1962 Lettu Try mengikuti pendidikan MOS Pazikon. Dan tahun 1964 ia mengikuti Latihan Dasar Para.

Tahun 1965 ia pindah ke Jakarta sebagai Dan Ki Dump Truck. Setelah lulus mengikuti pendidikan Kupaltu di tahun 1965, ia dilantik menjadi Kapten pada 1 Januari 1966 dan diangkat menjadi Dan Ki I/Dump Truck, kemudian menjadi Wadan Denma Ditziad. Pada tahun 1967 Kapten Try Sutrisno ini sempat mengikuti Latihan MOS Amfibi. Kemudian dari Ditziad tahun 1968, ia dipindahtugaskan ke Bandung sebagai Wadan Yonzipur-9/Para. Tahun itu pula ia mengikuti tugas belajar di Suslapa Zeni.

Pada tahun 1970 naik pangkat menjadi Mayor Czi, dan dipercaya memimpin Yonzipur/Amfibi di Pasuruan. Tahun 1972 seusai mengikuti pendidikan Seskoad, ia naik pangkat menjadi Letkol Czi dan pindah ke Mabesad Jakarta sebagai Karo Binlatsat Staf Operasi TNI AD. Pada tahun 1977 ia dikirim ke Bandung untuk mengikuti pendidikan Seskogab ABRI.
***
Di tengah kesibukannya itu, ia tidak pernah melupakan kekasih hatinya, Tuti Sutiawati seorang mojang Bandung, puteri pertama dari pasangan Sukarna - Hj. Hasanah. Pak Sukarna ini adalah seorang guru yang dikenal jujur, cakap dan berdisiplin, yang hingga akhir hayatnya sepenuhnya mengabdikan diri di lingkungan pendidikan.

Pada tanggal 5 Februari 1961, Try resmi menikah dengan Tuti Sutiawati dan kemudian telah melahirkan baginya 4 orang putera dan 3 orang puteri. Dalam mendidik keluarganya, Try selalu bertolak pada pola hidup sederhana, berdisiplin dan menjunjung tinggi nilai-nilai aturan hukum, tradisi budaya dan syariat agama. Pasangan suami-isteri ini dikenal sangat harmonis dan bersahaja.

Dari 4 orang puteranya, seorang mengabdikan diri sebagai anggota Polri, dan yang seorang lagi mengabdikan diri sebagai anggota TNI AD mengikuti jejaknya. Sementara puteri sulungnya yang berprofesi sebagai dokter gigi, bersuamikan seorang anggota TNI AD juga, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, yang menjabat Kasad pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
***
Kesempatan yang langka akhirnya diperoleh pada saat ia berpangkat Letkol. Pada tahun 1974 ia ditugaskan menjadi Ajudan Presiden RI, Soeharto ketika itu. Selang dua tahun, ia naik pangkat menjadi Kolonel Czi. Banyak pengalaman berharga yang berhasil dia timba selama dirinya bertugas sebagai Ajudan Presiden. Ia mengetahui tentang aturan protokoler, etiket kalangan atas, pergaulan dengan para pejabat tinggi negara, sistem pengamanan VVIP, sistem administrasi level puncak, mekanisme pengambilan keputusan dalam berbagai masalah kenegaraan, kesibukan tugas seorang Kepala Negara, bagaimana cara Pejabat Tinggi membagi waktu, sikap Pemimpin Negara dalam menghadapi situasi kritis, tingginya semangat juang dan tanggung jawab seorang Pemimpin dalam mengemban amanah kepemimpinannya, dan lain-lain.

Dua tahun sesudah menyandang pangkat Kolonel, tepatnya pada tahun 1978, ia ditugaskan menjabat sebagai Kasdam XVI/Udayana yang bermarkas di Denpasar, mendampingi Mayjen TNI Dading Kalbuadi yang kala itu menjabat Pangdam.

Setahun kemudian yakni tahun 1979, ketika masih menjabat sebagai Kasdam XVI/Udayana, pangkatnya dinaikkan menjadi Brigjen TNI, dan tak lama kemudian diangkat menjadi Pangdam IV/Sriwijaya. Pada saat menjabat Pangdam IV/Swj itu ia melaksanakan Operasi Ganeca, yakni sebuah operasi lingkungan hidup berupa pengembalian gajah-gajah ke habitatnya. Selain itu, ia yang sekaligus bertindak selaku Laksusda Sumatera Selatan, juga giat menjalankan operasi pemberantasan penyelundupan timah, dan pemberantasan kriminalitas yang amat meresahkan masyarakat setempat pada masa itu. Dan pada saat menjabat Pangdam itu pulalah yakni pada tahun 1980, ia diangkat menjadi Anggota MPR RI Utusan Daerah Sumatera Selatan.

Kemduian, pada 1 Desember 1982, ia diangkat menjadi Pangdam V/Jaya hingga tahun 1985 dan pangkatnya juga naik menjadi Mayjen TNI. Di masa pengabdiannya memimpin Kodam V/Jaya inilah Try dihadapkan dengan beberapa peristiwa gangguan kemanan ibu kota yang cukup menyita perhatian. Di antaranya, yaitu peristiwa terbakarnya Toserba Sarinah, peristiwa Tanjung Priok, dan peristiwa peledakan bom di sebuah Kantor Cabang Bank BCA.

Agustus 1985 pangkatnya dinaikkan lagi menjadi Letjen TNI sekaligus diangkat menjabat Wakasad mendampingi Kasad. Jenderal TNI Rudhini ketika itu. Dan pada tahun itu juga, dirinya dipercaya memimpin organisasi olahraga bulutangkis PB. PBSI, yang merupakan cabang olahraga idola masyarakat. Pada masa jabatannya di organisasi tersebut, ia banyak mengadakan penyegaran di tubuh PB. PBSI yang saat itu sedang mengalami krisis pemain dan krisis prestasi.

Ia bersama Pengurus Pusat bekerjasama dengan seluruh Pengurus Daerah membuat Program Pembinaan PBSI jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Ia juga merintis berdirinya Pelatda-Pelatda dan Pelatnas serta mendirikan Yayasan PBSI sebagai wadah pembibitan kader pemain di daerah-daerah dan pusat.

Hasil dari pembinaannya selama dua periode itu beberapa tahun kemudian langsung terlihat, dan puncaknya adalah diraihnya 2 (dua) medali emas, 2 (dua) medali perak dan 1 (satu) medali perunggu pada event Olimpiade Barcelona tahun 1992. Ia memimpin PB. PBSI selama dua periode yakni dari tahun 1985 hingga tahun 1993, dan kemudian digantikan oleh Letjen TNI Suryadi.

Tak lama menjabat sebagai Wakasad, pada bulan Juni tahun 1986 atau sepuluh bulan sejak diangkat menjadi Wakasad, ia pun kemudian diangkat menjadi Kasad menggantikan Jenderal TNI Rudhini.

Selama menjadi Kasad, yang hanya sekitar satu setengah tahun, Try mengakui tak sempat berbuat banyak dalam membina TNI AD. Ia dengan jujur mengatakan hanya bisa melakukan beberapa pembenahan terbatas di bidang pembinaan personil (terutama pendidikan dan latihan serta pembinaan karier) dan pembinaan material (terutama penataan persenjataan satuan tempur dan asrama prajurit), karena pada awal tahun 1988 ia dipromosikan menjadi Pangab menggantikan Jenderal TNI LB. Moerdani. Namun walaupun begitu ia masih sempat merintis berdirinya Badan TWP TNI AD (Tabungan Wajib Perumahan TNI AD), yang bertujuan membantu para prajurit TNI AD dan PNS TNI AD dalam pengadaan rumah murah yang terjangkau oleh kemampuan mereka, dengan dilandasi oleh semangat gotong royong seluruh warga TNI AD.

Jenderal TNI Try Sutrisno memimpin ABRI, sejak tahun 1988 hingga tahun 1993. Ketika itu ABRI masih terdiri dari institusi TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan POLRI. Banyak peristiwa penting yang patut dicatat selama kepemimpinannya, seperti meletusnya kembali pemberontakan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) di Aceh pada pertengahan tahun 1989, menyusul dibubarkannya Kodam I/Iskandarmuda. GPK separatis Aceh tersebut merupakan kelanjutan (kambuhan) dari GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) yang lahir pada tahun 1976 dan yang telah berhasil ditumpas pada tahun 1982.

Seiring dengan era keterbukaan yang merebak ke semua sendi kehidupan, GPK Aceh generasi 1989 ini semakin berkembang dengan adanya dukungan politik, militer, maupun logistik, dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dan dibantu serta dikendalikan dari luar negeri.

Pada tahun 1992 gerakan separatis ini berhasil diredam dan dilokalisasi, dan banyak dari anggotanya yang menyerahkan diri dan bersumpah untuk tetap setia kepada NKRI. Ini terjadi semasa Pangdam Bukit Barisan dijabat oleh Mayjen TNI Pramono. Bahkan pelaksanaan Pemilu 1992 di Aceh tersebut ketika itu bisa berlangsung dengan aman, tertib serta berjalan lancar di seluruh daerah. Perkembangan kondisi Aceh selanjutnya setelah Try tak lagi menjadi Pangab, memang menampakkan trend ancaman dengan eskalasi yang semakin meningkat, disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks.

Kemudian, selain gangguan keamanan di Aceh, pada awal tahun 1990 itu di Lampung juga terjadi Peristiwa Talangsari. Peristiwa ini terjadi karena adanya di sana sebuah gerakan perlawanan terhadap Pemerintah yang sah, yang berbau radikalisme dan fanatisme sempit aliran keagamaan.

Dan pada tahun 1991, terjadi juga Peristiwa Santa Cruz yang memakan banyak korban jiwa. Saat itu para anggota gerombolan GPK Timtim (Fretilin) turun ke kota melakukan provokasi kepada masyarakat, dengan melakukan demonstrasi secara brutal menentang integrasi, menyusul dibukanya daerah Timtim dengan dunia luar.

Dalam masalah keamanan dalam negeri saat itu, ia memfokuskan perhatiannya untuk memelihara kondisi stabilitas keamanan di tiga daerah rawan yakni, Aceh, Timtim, dan Irian Jaya. Sehingga ia dengan jajaran ABRI serta dengan dukungan seluruh rakyat, berhasil memelihara stabilitas keamanan di ketiga daerah tersebut dalam tingkat yang kondusif untuk menjalankan program pembangunan nasional, maupun dalam menunjang kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat.

Belakangan setelah tidak menjabat pimpinan militer lagi, ia mengaku, masih mempunyai dua ganjalan hati dan fikiran ketika meninggalkan jabatan tersebut. Kedua ganjalan hati Jenderal tampan yang terkenal ramah ini yang belum bisa direalisasikannya secara tuntas adalah: Pertama, keinginannya untuk melengkapi (mengganti) alat utama sistem persenjataan ABRI yang sebagian besar sudah sangat ketinggalan zaman; serta Kedua, keinginannya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan prajurit (makan, perlengkapan perorangan, dan perumahan).

Kedua hal tersebut tidak dapat dituntaskannya, disebabkan oleh alokasi anggaran pertahanan keamanan yang sangat minim, yang saat itu juga diakui dan bahkan menjadi keprihatinan para Anggota DPR (khususnya Komisi I).

Namun di tengah-tengah keterbatasan anggaran untuk ABRI, ia masih sempat melakukan penggantian sebagian kecil Alut Sista TNI AD yakni peluru kendali Rapier untuk pengamanan obyek vital Arun dan Bontang. Demikian pula penggantian Alut Sista TNI AL dengan beberapa kapal bekas pakai. Juga pembaruan terhadap beberapa Alut Sista TNI AU berupa pengadaan pesawat tempur F-16 dan pesawat latih kelas Charlie, walaupun pembayarannya dengan cara dicicil (multi year program). Sedangkan POLRI mendapatkan perhatian pada pengadaan peralatan khusus untuk keperluan penyidikan, serta perlengkapan untuk Satuan Reserse dan Satuan Lalu Lintas.

Wakil Presiden
Majelis Permusyawaratan Rakyat masa bakti 1992 – 1997 melalui Sidang Umumnya pada tahun 1993, akhirnya memilih putra bangsa ini menjadi Wakil Presiden RI mendampingi HM. Soeharto, presiden terpilih saat itu. Adalah Fraksi ABRI MPR-RI yang lebih dahulu mencalonkannya, mendahului pilihan terbuka dari Presiden Soeharto ketika itu. Suatu hal yang tidak lazim pada era Orde Baru itu. Konon, Presiden Soeharto merasa di-fait accompli.

Dalam pidato pelantikannya, Try berjanji akan membantu tugas-tugas Presiden RI secara optimal sekuat kemampuannya, berdasarkan ketentuan konstitusi dan dengan mengindahkan pengarahan Bapak Presiden. Terpilihnya dirinya sebagai Wapres RI, disikapinya dengan sikap khudhu, tawadhu, dan tasyakur, menyadari bahwa semua itu tak akan terjadi tanpa izin Allah SWT. Dan sesuai dengan batas kewenangan dan tanggungjawabnya selaku Pembantu Presiden, fokus perhatian Try selama menjabat Wapres adalah pada bidang pengawasan atas penyelenggaraan pembangunan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Selama lima tahun menjabat Wapres itu, isterinya, Ny. Tuti Sutiawati, aktif dalam kegiatan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dan berbagai kegiatan sosial lainnya, khususnya yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan, kesehatan, dan pelayanan sosial.

Pada tahun 1998 tugasnya sebagai Wapres berakhir, dan kemudian digantikan oleh BJ. Habibie pada Sidang Umum MPR 1998.

Hukum tentang Tembakau dan Peran BPK

Sejak tahun 1978 Komite Ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Pengendalian Merokok di Negara berkembang telah mengingatkan bahwa “Dalam ketiadaan tindakan pemerintah yang kuat dan dapat memecahkan masalah ini, kita menghadapi suatu kemungkinan serius bahwa wabah tembakau akan mempengaruhi dunia (Negara) berkembang dalam satu dasa warsa dan masalah kesehatan utama yang (sesungguhnya) dapat dicegah akan menjadi masalah yang makin rumit di Negara-negara yang paling lemah kemampuannya dalam menghadapinya karena alasan ganda kuatnya industri tembakau dan ketidak aktifan pemerintah”. Dengan kata lain wabah tembakau (atau wabah merokok) hanya dapat terjadi jika Pemerintah sebuah Negara lemah. Dalam kaitannya dengan tata kelola keuangan Negara, “lemah” dalam kalimat itu bisa diartikan para pejabatnya banyak melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan. Sejak saat itu Tim Ahli WHO tersebut telah menyodorkan serangkaian rekomendasi tentang Strategi Pengendalian Merokok yang diharapkan untuk dilakukan oleh Negara berkembang, termasuk Indonesia. Saran-saran itu antara lain mencakup agar Negara berkembang membentuk badan antar departemen yang terdiri atas wakil-wakil dari departemen yang memiliki kaitan dengan tembakau dan kesehatan seperti departemen pertanian, perdagangan, perindustrian, pendidikan, agama dan kesehatan yang dipimpin oleh wakil dari departemen Kesehatan untuk memastikan kesatuan tujuan (yaitu mengendalikan wabah merokok untuk melindungi kesehatan masyarakat). Namun setelah lebih dari dua dasa warsa, saran-saran Tim ahli WHO tidak banyak diikuti para pemimpin Negara Indonesia meskipun bila saran saran itu diikuti akan meningkatkan citra Negara kita sebagai Negara dengan Pemerintah yang Bersih dan Pemerintahan yang Baik (Clean Government - Good Governance), setidaknya disektor pembangunan kesehatan. Tulisan ini akan membahas hukum internasional tentang tembakau atau kesehatan –yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), manfaatnya bagi pemberdayaaan peran Badan Pemeriksa Keuangan BPK, serta bagi kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat jika Indonesia meratifikasi hukum internasional tersebut.
Pentingnya WHO-FCTC

Seperti telah dijelaskan diatas, meskipun sejak tahun 1978 Tim Ahli Kesehatan WHO tentang Strategi Pengendalian Merokok Negara berkembang telah menyodorkan sederet saran untuk mengendalikan wabah merokok untuk mencegah munculnya beban baru atas tingginya angka penyakit dan masalah kesehatan yang berkaitan dengan merokok berikut konsekwensi social ekonominya- namun saran itu dapat dikatakan tidak pernah digubris oleh para pemimpin Indonesia. Sementara Negara-negara maju dan Negara Negara berkembang yang memiliki pemimpin yang berwawasan kesehatan telah berhasil menerapkan startegi pengendalian merokok sehingga berdampak pada berkurangnya penyakit penyakit akibat merokok dan manfaat social ekonominyapun telah mulai mereka peroleh (yaitu penghematan biaya kesehatan), bencana akibat wabah tembakau di Indonesia mulai kita rasakan sejak tahun 1990 an. Sebagai contoh, sejak tahun-tahun itu penyakit jantung pembuluh darah (yang 30% darinya disebabkan oleh merokok) telah jadi sebab utama kematian penduduk Indonesia dan kitapun sulit memberantas narkoba yang penggunanya sering memulainya dari merokok. Kehadiran hukum internasional tentang pengendalian tembakau yang dibuat oleh Negara-negara anggota WHO dan ditujukan untuk melindungi kesehatan generasi sekarang dan yang akan datang yang dikenal dengan nama WHO-Framework Convention on Tobacco Control (WHO-FCTC) seharusnya kita terima sebagai sebuah rahmat. Meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengharapkan semua Negara menyetujui ide dan meratifikasi hukum internasional ini, namun tidak ada paksaan kapan suatu Negara harus mulai meratifikasi hukum internasional ini kedalam hukum nasionalnya. Hanya saja, ketika sudah ada 168 negara menandatangani (sebagai tanda menyetujui ide) dan 140 negara meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengkonfirmasi secara resmi atas WHO FCTC ini, Indonesia dimata dunia Internasional seperti Negara tidak punya kemauan untuk melindungi kesehatan mesyarakatnya karena tidak melakukan hal yang telah dilakukan hampir semua Negara anggota WHO. Indonesia tampak makin menjadi sebuah Negara yang memiliki Pemerintah yang kotor dan Pemerintahan yang buruk (dirty government – bad governance) karena tata kelola negara dan keuangan Negara yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan semakin jauh dari apa yang disarankan dalam pasal-pasal yang ada didalam FCTC. Ketika wakil dari Indonesia menghadiri pertemua konsultatif terakhir tentang FCTC di WHO – Jenewa tahun 2006 ini, wakil dari Indonesia sampai dipermalukan karena secara simbolik mendapat hadiah asbak (tempat meletakkan puntung rokok) –sesuatu yang susungguhnya amat menghinakan- karena Negara kita memiliki prevalensi merokok yang relative tinggi (sekitar 60 % penduduk laki-laki merokok) tapi belum menerapkan hukum tentang tembakau yang dirancang untuk melindungi kesehatan generasi sekarang dan akan datang. Meskipun di Indonesia sudah ada produk hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan, tetapi produk hukum ini terlalu longgar –khususnya jika dibandingkan dengan WHO-FCTC, dan serba dilanggar sehingga menjadikan Indonesia seperti Negara tanpa hukum tentang tembakau atau kesehatan.

Peran BPK

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan genap berumur 60 tahun pada tanggal 1 Jauari 2007, suatu usia yang seharusnya menjadikan BPK semakin dapat menjalankan misinya untuk mewujudkan diri sebagai auditor eksternal keuangan negara yang bebas dan mandiri dalam upayanya menjadikan Negara Indonesia bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sesuai dengan motto BPK yaitu “Pemerintah yang bersih dan Pemerintahan yang baik” (Clean Government – Good Governance). Untuk itu para pejabat BPK perlu memahami bahwa peraturan atau produk hukum atau kebijaksanaan publik dan tata kelola Negara dan keuangan Negara yang berkait dengan tembakau atau kesehatan yang disarankan oleh WHO-FCTC yang dikumandangkan tahun 2005 jika diratifikasi kedalam hukum nasional kita sebenarnya juga akan dapat membantu BPK melaksanakan perannya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Berikut adalah contoh contohnya. Dalam WHO-FCTC Bagian III pasal 6 dijelaskan cara-cara yang berkaitan dengan pengurangan permintaan (demand) atas tembakau. Pada Ayat 1 pasal ini semua Negara anggota WHO diminta untuk mengenali bahwa pengaturan harga dan pajak (tembakau) merupakan suatu cara yang penting untuk mengurangi konsumsi tembakau oleh berbagai segmen masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja. Pada Pasal 2 (a) semua Negara diminta menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pajak dan kebijaksanaan-kebijaksanaan harga atas produk tembakau sedemikian rupa sehingga dapat membantu pencapaian tujuan tujuan kesehatan yang ditujukan untuk mengurangi konsumsi tembakau. Negara yang bisa menjadi teladan dalam menerapkan pasal pasal ini –bahkan jauh sebelum WHO FCTC dikumandangkan antara lain adalah Kanada, Australia dan Brunei Darussalam. Tahun 1981, saat Harga Rokok Nyata atau HRN (Real Cigarette Price atau RCP) di Kanada adalah 0.9 US$, prevalensi merokok pria Kanada umur 15-19 tahun adalah sekitar 47 %. Dengan maksud mengurangi daya jangkau anak-anak dan remaja pada produk yang membahayakan kesehatan ini, setiap tahun Pemerintah Kanada menaikkan HRP-nya sehingga pada tahun 1991, saat HRP-nya mencapai sekitar 3,72 US $, prevalensi merokok pria Kanada umur 15-19 tahun sudah sangat turun menjadi hanya 16 %. Seorang ahli ekonomi kesehatan dari Center for Disease Control USA membantah bahwa peningkatan harga seperti itu akan sangat merugikan Negara yang ekonomi nasionalnya sangat tergantung pada industri tembakau. Menurutnya, meskipun peningkatan harga menurunkan omzet penjualan, tapi karena nilai nominal setiap penjualan meningkat, hasil kali dari jumlah rokok yang dijual dengan HRP-nya akan menghasilkanm jumlah yang lebih kurang sama, bahkan pada banyak contoh justru kebih besar. Namun, menurutnya manfaat yang penting bagi kesehatan masyarakat adalah anak-anak dan remaja serta orang miskin yang lebih peka terhadap kenaikan HRN akan lebih terlindungi dari ancaman bahaya merokok karena konsumsi mereka atas produk yang membahayakan kesehatan ini secara otomatis akan menurun. Australia, khususnya Negara bagian Victoria, merupakan contoh yang baik dalam hal pengendalian tembakau untuk melindungi kesehatan masyarakat, khususnya dalam hal tata kelola keuangan Negara yang bersumber dari pajak tembakau. Sejak tahun 1985 di Negara bagian itu diberlakukan Akta Tembakau (Tobacco Act), sebuah Undang-undang yang disamping berisi larangan iklan rokok dalam segala bentuk juga berisi peraturan untuk mengalokasikan sebagian –katakanlah sekitar 10 %- dari pajak tembakau untuk pendidikan atau promosi kesehatan- khususnya untuk pendidikan tentang bahaya merokok bagi kesehatan manusia. Alasan mereka sangat masuk akal, pajak adalah uang rakyat, seharusnya digunakan sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan rakyat, dan salah satu komponen penting dari kejahteraan rakyat adalah pendidikan kesehatan rakyat. Tahun 2002, hanya 2 minggu setelah Sultan Hassanal Bolkiah mengumumkan Brunei Darussalam menyatakan perang melawan merokok, harga berbagai merek rokok yang semula sudah sekitar 10 dolar Brunei (atau 50 ribu rupiah) dinaikkan menjadi 15 dolar Brunei dengan tujuan yang sama seperti apa yang dilakukan Pemerintah Kanada pada contoh diatas. Di Negara Negara yang pemimpinnya berwawasan kesehatan seperti Kanada, Australia dan Brunei Darussalam itu tentulah pekerjaan lembaga auditor eksternal atas tata kelola keuangan Negara -yang menyerupai BPK-nya Indonesia- akan lebih memiliki landasan untuk berperan optimal dalam memeriksa dan mengawasi tata kelola keuangan Negara yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan agar Negara tidak tercemar oleh praktek-praktek KKN yang berkaitan dengan tembakau dan kesehatan. Di Negara-negara seperti itu –sebagai contoh, pejabat tinggi ataui lembaga militer atau kepolisian Negaranya mungkin akan berpikir berkali kali sebelum mengijinkan pemasangan papan iklan (bill board) rokok raksasa seperti yang ada di atas atap sebuah Markas Angkatan Laut di Jalan Gunung Sahari- Senen Jakarta, atau di halaman depan markas Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya Jl, Jenderal Gatot Subroto - Jakarta. Jika pejabat tinggi Militer atau Kepolisian Negara disana melakukan apa yang dilakukan petinggi Militer atau Kepolisian di Indonesia, mungkin mereka akan diperiksa oleh lembaga semacam BPK dan menghadapai risiko dituduh melakukan KKN dengan industri tembakau. Lebih lanjut mereka bahkan bisa terkena sangsi hukum karena melakukan tindakan melawan hukum. Dengan kata lain, ratifikasi WHO-FCTC bisa membuat lembaga BPK mempunyai dasar hukum untuk mencegah KKN tembakau atau kesehatan. Sebaliknya, sangat kurangnya peran BPK kita dalam mewujudkan Pemerintah yang Bersih dan Pemerintahan yang Baik –utamanya bila dipandang dari masalah tembakau atau kesehatan- sedikit banyak disebabkan oleh karena lemahnya keberpihakan hukum kepada kesehatan masyarakat - salah satu komponen penting dalam kesejahteraan masyarakat- Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Agar BPK dapat berperan menjadi auditor eksternal keuangan negara yang bebas, mandiri, profesional, efektif, efisien, dan modern sesuai dengan praktik internasional terbaik untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN –khususnya yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan, maka semua lembaga pemerintah, termasuk BPK sendiri- perlu memberi dukungan penuh pada upaya para pembela pengendalian tembakau Indonesia agar Indonesia meratifikasi WHO-FCTC.
silahkan kirim email disini

Saturday, November 1, 2008

STUDI INDONESIA PASCA SOEHARTO

STUDI INDONESIA PASCA - SOEHARTO
Dari Otoriterianisme Menuju Demokratisasi

Runtuhnya rezim orde baru membawa perubahan terutama dalam peta konfigurasi politik di Indonesia. Momen itu begitu menentukannya sehingga seolah menjadi batas berakhirnya masa kegelapan akan order silam. Segala respon sikap mnjadi begitu reaktif setelah melewati masa-masa yang diselimuti oleh phobia hantu otoritarianisme itu. Bandul kekuasaan bergeser yang tadinya terpusat begitu dominan di tangan seorang presiden, khawatir akan ingatan kelam masa silam, begitu saja berbalik secara berlawanan di tangan lembaga perwakilan. Tidak hanya itu, dalam ranah sosial-budaya, wacana tentang penguatan masyarakat sipil semakin mengemuka, kebebasan berekspresi, berpendapat makin mendapat tempat karena model pemerintahan yang terpusat dan dominan telah sama sekali ditolak berganti dengan model pemerintahan demokratis.
Banyak pengamat yang mengatakan bahwa demokrasi menjadi pilihan yang cukup ideal untuk membenahi berbagai persoalan hukum, politik, ekonomi, dan budaya yang telah demikian korup. Pasca Soeharto merupakan momen untuk berbenah diri terutama dalam memantapkan demokratisasi agar dapat berlangsung sepenuhnya di Indonesia. Para demokrat sering menyebut Indonesia kini sedang berada dalam track yang benar selama pembenahan dapat dilakukan secara bertahap namun pasti menjadi untuk negara yang demokratis.
Semangat melakukan perubahan, mereformasi pemerintahan dan tatanan sosial merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai tahap transisi menuju demokrasi. Dalam masa ini perangkat-perangkat demokrasi seperti pengakuan dan penegakan HAM, kebebasan pers, dll sedikit demi sedikit dipersiapkan menuju konsolidasi, hingga demokrasi sepenuhnya.

Tahapan ini bergerak secara linear tapi pasti dimana yang pertama menjadi syarat bagi yang selanjutnya. Namun, dimana kini Indonesia sedang berada, masih menjadi pertanyaan yang menyelimuti perdebatan para intelektual. Tidak hanya itu, model demokrasi seperti apa yang sessuai dengan konteks ke-Indonesiaan, apakah demokrasi Pancasila –seperti yang digunakan oleh Soeharto masa silam- atau demokrasi liberal, atau ada model lain yang lebih pas, juga masih dalam perdebatan. Terlepas dari itu, saat dimana Indonesia telah beranjak dari rezim otoriter sudah merupakan sebuh prestasi, setidaknya ia telah membuat masyarat justru menjadi euforia akan orde yang baru.
Jika merujuk lebih jauh ke belakang, beberapa tahun sebelum jatuhnya Soeharto arus demokratisasi sebenarnya secara perlahan sudah mulai menguat. Pada saat itu pula kekuasaan orde baru sedikit demi sedikit mulai melemah. Masyarakat dan para intelektual mulai makin berani melantangkan wacana demokrasi yang lebih substansial, bukan sekdar formalitas dengan mengadakan pemilu ala orde baru. Geliat ini sesungguhnya bukan merupakan gerak masyarakat yang sporadis dan terfragmentasi tetapi menjadi momen menuju perubahan besar dalam banyak segi kehidupan.
Wacana yang berkembang di kalangan intelektual juga mengalami pergeseran minat yang cukup penting. Huntington, menyebut geliat demokrasi yang muncul di Indonesia itu sebagai bagian dari arus besar gelombang demokratisasi[2] di negara-negar dunia ketiga dan negara eks-komunis. Peristiwa ini ditandai oleh runtuhnya rezim komunis Rusia dan berakhirnya perang dingin yang sangat berpengaruh merubah geopolitik dunia. Fukuyama menyebut momen itu sebagai titik pijak baru dimana negara-negara dunia mulai memasuki babak baru sejarah dunia. Tidak hanya kapitalisme yang dianggap sebagai ideologi yang telah teruji oleh sejarah karennya dianggap telah final tetapi juga demokrasi, terutama demokrasi liberal, sebagai konsep negara yang berlaku secara universal. Terbukti dengan jatuhnya negara-negara komunis terutama Rusia.

Gelombang demokratisasi itu secara perlahan namun pasti merubah style of government negara-negara dunia menjadi demokratis. Kejatuhan Soeharto merupakan sebuah contoh. Lee kwan yew di Sangapura, perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, serta Presiden Marcos di Filipina yang otoriter, untuk menyebut beberapa contoh di Asia Tenggara, secara perlahan digantikan oleh sosok pemimpin yang dianggap lebih demokratis. Demikian pula satu per satu negera-negara eks-komunis di Eropa Timur mulai meninggalkan ideologi marxisme dan leninisme. Terkecuali Korea Utara dan Kuba, yang masih mempertahankan ideologi itu meski secara terbata-bata.
Setting politik-ekonomi dunia diatas menjadi semacam big picture untuk menempatkan persoalan yang muncul dalam konteks perubahan geopolitik dunia yang mempengaruhi pergeseran minat akademik para intelektual (baca: orientalis) terutama dalam studi kewilayahan (area studies). Inilah yang menjadi fokus kajain dalam makalah ini. Ada beberapa perbedaan penting bagaimana para akademisi atau peneliti (antropolog, sejarawan, ilmuan politik, dll) terutama yang bersal dari Amerika juga Australia dan Belanda mengkaji Asia Tenggara, dalam hal ini adalah Indoneisa. Namun, pasca perang dingin, orientasi fokus kajian serta perangkat ilmiah para Indonesianis itu bergeser ke arah yang berbeda. Dan bagaimana kajian yang mereka lakukan itu ternyata mempengaruhi proses demokratisasi di Indonesia maupun hubungan trianggulasi antara masyarakat, negara, dan pasar.
A. StudiIndonesia masa Perang Dingin
Studi tentang Indonesia pada era orde baru, bahkan jika ditarik lebih ke belakang yakni pasca-kemerdekaan, mewakili kajian-kajian kawasan terutama di Asia Tenggara. Secara historis, era pasca kemerdekaan menjadi titik pijak yang penting bagi studi kawasan di Asia Tenggara terutama karena faktor berlangsungnya ketegangan hubungan dua negara adi daya yang saliang bersaing di bidang teknologi, ilmu pegetahuan, militer, dan yang terutama karena mereka saling berebut pengaruh serta dukungan ideologi-politik pada negara-negara lain, termasuk negera dunia ketiga. Model hubungan demikian terjadi setelah berakhirnya perang dunia kedua yang menjadi awal kesepakatan negara-negera dunia mengakhiri kekerasan melalui invasi militer dan imperialisme yang ditandai dengan proses dekolonialisasi yang mengglobal di negara-negara jajahan melalui pembentukan identitas nasional.
Pada awalnya studi kawasan mulai mengemuka, terutama dilihat dari sudut pandang yang problematis, sejak terbitnya buku Orientalism yang ditulis oleh Edward Said. Buku ini bukan tentang bagaimana mengkaji wilayah atau masyarakat tertentu sebagai sebuah objek penelitian, tetapi justru ia berusaha menghantam balik praktik ilmiah demikian yang sebagain besar dilakukan oleh sarjana Barat, ilmuan ataupun sastrawan, sebagai sebentuk usaha penciptaan ruang imaji dan identitas bangsa Timur sebagai sosok yang hendak dikuasai.
Orientalisme adalah kajian tentang Timur, khususnya Islam dalam kritikan Said, oleh Barat sebagai identitas yang berbeda, dan asing. Namun bukan sekedar berbeda, tetapi juga dibedakan –dalam bentuk transitif menjadi pembedaan- yang bermakna sangat tendensius, yakni yang barbar, primitif, terbelekang, tetapi juga eksotik, karenanya perlu diberadabkan (pemberadaban atau pemBaratan). Selanjutnya, kritik orientalisme Said menginspirasi para intelektual dunia ketiga untuk lebih kritis terhadap steriotyping yang inheren dalam kajian-kajian kewilayahan yang menjadikan mereka sebagai objeknya.
Studi orientalis oleh para peneliti, sastrawan serta para petualang yang berminat mencari daerah-daerah baru yang tak dikenali itu kemudian menghasilkan sebuah gambaran tentang masyarakat Timur seperti buku panduan wisata menuju dunia Timur yang eksotik. Ia dedefinisikan begitu saja sebagai daerah asing bagi para petualang teteapi juga didefinisikan secara politis karena menjadi ancaman ideologis dan politis bagi Barat yang mendefinisikan.
Studi tentang Asia Tenggara tentu juga menjadi bagian dari studi orientalis. Akan tetapi sebelum perang dunia kedua, Asia Tenggara belum dipandang sebagai kawasan yang penting, terutama oleh orientalis AS. Bahkan pada masa itu nama Asia Tenggara belum banyak dikenal oleh ilmuan dan pemerintah AS. Secara historis AS memang tidak memilki daerah jajahan yang spesifik di kawasan tersebut. Orientalis kawasan Asia Tenggara sebagian besar adalah orang-orang dari negara kolonial sendiri yang bekerja terutama untuk kepentingan kolonialisme. Di Indonesia dapat kita temui semacam Snouck Hugranye, C van Vollenhoven, dll.
Yang menjadi cacatan penting bagaimana kemudian AS pada akhirnya memandang kawasan Asia Tenggara menjadi penting, terutama disebabkan oleh terjadinya perang pasifik AS melawan Jepang, yang diawali oleh pengeboman Pearl Harbour oleh Jepang. Namun yang lebih awal mendahului adalah saat dimana Jepang melakukan invasi di kawasan yang kemudian disebut sebagai Asia Tenggara.
Kejadian itu membuktikan bahwa Jepang sebagai negara non-Barat tidak hanya mampu menumbangkan kekuasaan kolonial Barat tetapi bahkan juga mengancam kekuatan sekutu pada masa itu. Pendudukan Jepang di Hindia Belanda pasca PD I dalam menumbangkan dan menggantikan rezim kolonial Belanda merupakan salah satu bukti bahwa Jepang menjadi ancaman bagi sekutu, khususnya AS di kawasan Asia Tenggara. Tentu AS tidak menerima begitu saja keadaan itu sehingga mau tidak mau membuatnya harus mengenal kawasan Asia Tenggara untuk didefinisikan, dipetakan, dan dipahami.
Philpott memberikan gambaran yang cukup menarik bagaimana AS memahami kawasan Asia Tenggara sebagai ancaman baginya. Menurutnya, satu sisi secara faktual Amerika memiliki sedikit pengetahuan tentang persoalan Asia Tenggara, atau bahkan tidak memilikinya sama sekali, tidak mencegah kawasan tersebut masuk menjadi ancaman baginya. Namun di sisi lain justru ketidaktahuan akan kawasan tersebut yang membuat Amerika menjadikannya sebagai ancaman meski tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat dipelajari melalui penelitian yang tepat. Namun, persepsi ancaman itu mendahului munculnya pengatahuan yang luas tentang kawasan itu, dengan demikian berbagai temuan penelitian diketahui secara apriori.
Pasca PD II, memasuki masa perang dingin penelitian tentang kawasan ini semakin mendapat tempat yang penting bagi AS. Hal ini lebih disebabkan oleh perebutan pengaruh ideologis-politis antara komunisme Rusia dengan kapitalisme Amerika. Kajian tentang kawasan ini, begitu besar dipengaruhi oleh faktor kegelisahan Amerika akan kekhawatiran menguatnya ancaman komunisme. Salah satu kunci untuk menjinakkan ‘ancaman komunis’ adalah campur tangan dalam pembangunan ekonomi, turut menentukan apa yang harus dipelajari dan organisasi institusional dalam studi-studi Asia Tenggara (Philpott, 2000: 107).
Hal itu pula yang menjadi konteks bagaimana para orientalis Amerika mengkaji Indonesia pada masa perang dingin. Demikian kuatnya ketakutan Amerika akan ancaman komunisme di Indonesia, membuatnya menurunkan beberapa peneliti untuk mendefinisikan dan mengkonstruksi Indonesia. Ada beberapa isu penting yang direkayasa dan dikembangkan untuk kepentingan tersebut, yang dapat dilihat dari orientasi kajian para Indonesianis, wacana apa yang mereka kembangkan, serta bagaimana mereka mendefinisikan Indonesia. Isu pertama adalah sperti telah dipaparkan diatas, terkait dengan kepentingan Amerika mecegah komunisme berkembang dan menjadi sebuah ideologi dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia. Kedua, untuk kepentingan itu, Indonesia selain dedefinisikan, yang berarti penjinakan dalam ranah pengetahuan dan discourse, juga bagaimana Indonesia sebagai sebauh negara dapat dikendalikan, terutama dalam hal kebijakan politik dan ekonomi pemerintah. Style of government Indonesia masa Soeharto yang otoriter secara tidak langsung juga berkaitan dengan kepentingan itu. Selain itu, model pembangunan ekonomi kapitalisme yang ingin ditanamkan oleh Amerika agar menjadi model pembangunana ekonomi di Indonesia pada masa itu adalah model kapitalisme negara (Keynesian). Ketiga, dua isu diatas memerlukan sandaran akademis, pengetahuan ilmiah, yang dapat membenarkan praktik untuk mencapai kepentingan penguasaan dalam isi kajian-kajian tentang Indonesia dari para Indonesianis.
Dapat disebutkan deretan Indonesianis masa perang dingin yang sangat berpengaruh tidak hanya dalam isi kurikulum perkuliahan di Indonesia tetapi juga terhadap pandangan masyarakat Indonesia dalam mendefinisikan dirinya, dan bahkan ia menjadi rujukan bagi pemerintah Soeharto semakin mengukuhkan otoritarianismenya.
Tentu bukan sebuah kebetulan yang biasa mengapa hampir sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada masa perang dingin memiliki style of government yang otoriter. Apakah hal itu menjadi kecenderungan yang umum berlaku di negara-negara pasca kolonial, yang barangkali mewarisi karakter pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan. Mengapa negara-negara itu tidak menjadi demokratis, seperti disebut oleh Huntington pasca PD II gelombang demokratisasi kedua menerpa negara-negara pasca-kolonial? Meski demikian, memang tidak dapat digeneralisasi secara serampangan bahwa semua negara-negara di Asia Tenggara pemerintahannya otoriter.
Kalaupun ia menjadi kecenderungan yang umum berlaku tentu masing-masing negara itu memiliki faktor tertentu yang berbeda dan khas dalam otoritarianismenya. Deretan nama Indonesianis yang secara langsung ataupun tidak, dalam mengkaji otoritarianisme Soeharto dan yang menjadikan hasil kajian itu sebagai ladasan pengukuhan rezim otoriter dapat kita sebutkan. Sebagai catatan, seperti dipaparkan oleh Shin, studi Indonesia pada tahun 1950an dan 1960an dipengaruhi oleh teori modernisasi yang dipengaruhi oleh situasi politik demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin. Misalnya George McT. Kahin (1952) dan Herber Feith (1963) menunjukkan orientasi pembangunan. Kajian ini hanya memberikan gambaran bagaiman kebijakan politik pemerintahan masa itu lebih berorientasi pada pembangunan, pertumbuhan, industrialisasi, yang merupakan wacana yang khas dalam kebijakan negara yang kapitalistik.
Demikian juga dengan Clifford Geertz (1960) dan William Liddle (1970) yang menjelaskan mengenai keterbelahan primordial. Selain itu juga Furnivall (1939 dan 1956) tentang pluralitas masyarakat Indonesia sebagai decivilized. Kajain ini sebenarnya hendak menjelaskan betapa masyarakat Indonesia yang plural senantiasa mengandung kerawanan menguatnya ikatan primordial yang dapat mengancam disintegrasi Indonesia, dan yang hanya bisa diatasi melalui kebijakan politik yang integrasionistik, baik dalam penanganan konflik, kebijakan pembangunan, pendidikan, dll. Semangat integrasionistik inilah yang pada akhirnya mengukuhkan otoritarianisme Soeharto.
Ketika Indonesia bergerak menuju otoritarianisme sesudah 1957, beberapa Indonesianis berusaha menjelaskan karakter rezim Soekarno dan Soeharto walaupun tanpa meninggalkan minatnya pada konflik elit dan politik kebudayaan. Mereka menyebut rezim Soekarno dan Soeharto sebagai rezim patrimonial (Anderson 1972 dan Corouch 1979) atau Orde Baru sebagai repressive developentalis regime (Feith 1979), bureacratic polity (Jackson 1978), personal rule (Liddle 1983), technocratic state (McDougall 1986), Beamtenstaat (Benda 1966).
Beberapa dari mereka menjelaskan sifat otoritarianisme dengan menghubungannya dengan apa yang disebut kalangan modernis sebagai tradisional atau pra-kolonial. Sarjana yang lain menghubungkan rezim Soeharto dengan peranan militer yang menonjol dalam politik. Sebagian besar studi ini memusatkan perhatian pada lingkungan kecil elit politik dan konflik internal antarelit (Shin, 1980: 14-15). Menurut Anderson, Orde Baru adalah kebangkitan negara vis a vis masyarakat dan bangsa.
Pandangan ini membedakan dari para Indonesianis lainnya yang menekankan bahwa Orde Baru hanyalah munculnya rezim otoriter dan perubahan dalam aturan-aturan permainan politik yang dibuat oleh elit. Orde baru tidak memiliki identifikasi kelas yang jelas dan bersifat otonom. Hal inilah yang membedakan Anderson dari teori-teori negara yang marxist.
B. Model Kapitalisme
Faktor utama yang menjadi sebab kedatangan para Indonesianis melakukan kajian tentang Indonesia seperti telah dikemukakan di atas adalah wacana anti-komunisme. Ketakutan ini cukup beralasan mengingat rezim komunisme Rusia menjadi kekuatan yang cukup seimbang sebagai musuh ideologi kapitalisme Amerika.
Untuk kepentingan itulah para Indonesianis bertugas menjadikan Indonesia, model pembangunan ekonominya bercorak kapitalisme, melalui definisi tentang Indonesia, maupun konsep-konsep pembangunan, seperti industrialisasi, investasi, cita-cita tentang kemajuan, sebagai konsep yang bersifat prescriptive. Yang paling penting untuk menjadi catatan disini adalah seturut dengan phobia komunisme, orientasi para Indonesianis pada masa perang dingin menghasilkan kerja-kerja akademis yang justru berusaha mengukuhkan posisi kuat negara dalam hubungannya dengan masyarakat sipil. Tetapi tidak juga begitu dominan terhadap pasar meski dalam hal itu dibutuhkan intervensi negara dalam pengaturan ekonomi. Hal itu mengandaikan pemerintahan yang kuat, salah satunya adalah model pemerintahan yang otoriter.
Bukti bahwa pasar tidak begitu saja dapat dikendalikan oleh negara dapat dilihat dari begitu mudahnya masuk para investor asing melalui UU PMA yang pembentukannya tidak lepas dari peran Amerika dan IMF. Tetapi negara juga campur tangan di bidang ekonomi, yang dapat dilihat dari model hubungan antara pengusaha dengan birokrat pada masa itu. Hal itu dapat kita lihat dari pandangan beberapa ekonom pembangunan dan neo-liberal yang tidak percaya bahwa rezim Orde Baru memilki komitmen terhadap pasar bebas.
Anne Booth dan Peter McMawley berpendapat bahwa Orde baru adalah malign interventionism yaitu penyalahgunaan wewenang dalam perencanaan ekonomi oleh birokrat. Shin sendiri juga berpendapat bahwa hubungan antara negara-masyarakat adalah bersifat dominasi negara. Pertanyaan selanjutanya, mengapa model kapitalisme yang didominasi oleh peran negara dalam kegiatan ekonomi menjadi model bagi kapitalisme Soeharto?
Hal itu tentu saja tidak lepas dari pengaruh geopolitik dunia terutama Amerika dalam mentukan corak kapitalismenya yang lebih menempatkan peran negara secara cukup kuat dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi. Model kapitalisme demikian ini megandaiakn adanya campuir tangan negara dalam urusan ekonomi seperti dalam pembuatan regulasi di bidang ekonomi yang mengatur kegiatan ekonomi, berdirinya perusahaan-perusahaan yang didominasi oleh negara (BUMN), adanya kebijakan proteksionis sebuah negara untuk melindungi barang produksinya dari genpuran impor, dll.
Model kapitalisme ini memliki landasan teoritisnya dalam teori ekonomi Keynes yang mulai berkembang dan digunakan dalam mengatur kebijakan ekonomi Amerika, pasca PD II, dan menjadi mainstream model ekonomi kapitalisme dunia. Maka proyek anti-komunis Amerika di Indonesia tidak lain dilakukan dengan menanamkan model pembangunan ekonomi Keynesian yang mengandaikan posisi kuat negara. Dan ia seturut dengan pengukuhan otoritarianisme Soeharto.
C. Indonesia Pasca Perang Dingin
Di muka telah dipaparkan bahwa berakhirnya perang dingin membawa serta gelombang demokratisasi ketiga di Indonesia. Untuk megukur betapa kuatnya pengaruh negara adikuasa terhadap geopolitik dunia dapat dilihat dari pergulatan ideologi, politik, ekonomi, hingga budaya baik dalam tataran wacana maupun praktik, di negara-negara di dunia sangat dipengaruhi oleh gerak politik negara-negara adidaya, baik dalam hubungan ketegangan ideologis dimana negara-negara lain pada akhirnya juga ikut terlibat dalam perdebatan ideologis itu, tetapi juga pada saat berakhirnya hubungan itu. Perang dingin berakhir pada tahun 19983 dengan kekalahan dan keruntuhan rezim komunis Rusia.
Perubahan geo-politik yang paling penting pasca perang dingin diantaranya adalah menguatnya kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi yang dominan di dunia dan menjadi harapan bagi negara-negara ‘sedang berkembang’ termasuk negara-negara eks komunis seperti Rusia, negar Eropa Timur, Cina, dan Vietnam sebagai sistem ekonomi yang akan mampu membawa kemakmuran.
Selain itu, ekonomi dunia pasca perang dingin juga ditandai semakin mantapnya posisi dan peran organisasi-organisasi ekonomi internasional seperti IMF, World Bank, dan lahirnya WTO. Pada saat itu pula model kapitalisme ekonomi proteksionis ala Keynesian mulai ditinggalkan dan kembali pada pasar sebagai satu-satunya mekanisme yang mengatur ekonomi dunia. Momen ini merupakan saat dimana kapitalisme liberal menemukan wajah barunya sebagai neo-liberalisme.
Di Indonesia, pengaruh berakhirnya perang dingin juga begitu nyata, dimana sedikit demi sedikit kekuasaan orde baru yang otoriter digerogoti dan jatuh tak sampai satu dasawarsa lamanya dari mulai lahirnya gelombang dahsyat demokratisasi di dunia. Hak asasi manusia menjadi salah satu isu sentral dalam pelaksanaan demokrasi di sebuah negara. Pada masa otoritarianisme Soeharto, HAM menjadi isu yang sangat sensitif untuk dipersoalkan. Tentu alasan yang paling utama adalah untuk memantapkan kekuasaannya yang dominan (power establishment).
Disamping itu, yang masih juga berkaitan dengan studi Indonesianis masa perang dingin, konsepsi pluralisme masyarakat Indonesia memberikan semacam pengabsahaan betapa kekerasan merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah terjadi di negara yang masyarakatnya plural dan karena itu selalu megandung kerawanan menguatnya sentimen primordial yang dapat menjadi pemicu lahirnya konflik dan kekerasan.
Sikap orde baru menolak HAM yang dikukuhkan dalam wacana pluralisme juga untuk mengkonstruksi imaji masyarakat agar menerima kekerasan negara atas dasar teks seputar perbedaan kultural. Gejala ini ternyata tidak hanya terjadi di indonesia masa otoritarianisme Soeharto, tetapi juga di beberapa pemimpin Asia lainnya, tentu saja yang bercorak otoriter. Lee Kwan Yew, Mahatir Mohammad, Marcos telah mendorong wacana dominan untuk menolak HAM.
Wacana demokrasi dan penegakan HAM menjadi bagian dari makin menguatnya pasar sebagai rezim yang berkuasa menentukan mekanisme ekonomi dunia. Wacana-wacana itu menjadi bagian dari persyaratan negara-negara yang ingin memperoleh bantuan ekonomi untuk pembangunan negaranya dari organisasi donor.Sehingga dapat disebut disini bahwa kemenangan kapitalisme ekuivalen dengan kemenangan demokrasi sebagai wacana dominan. Tentu secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa konsep negara demokrasi menjadi jalan bagi prinsip ekonomi neo-liberal
Negera-negara donor tidak begitu saja memberikan bantuan ekonomi pada negara yang sedang membutuhkan tetapi juga memberikan konsep tentang kemajuan sebagai sebuah konsep yang sesungguhnya bersifat prescriptive. Demokrasi dan demokratisasi serta universalisasi ide HAM merupakan bagian dari model resep negara donor.
Kapitalisme neo-liberal yang mensyaratkan minimnya peran negara dalam mengatur kegiatan ekonomi tentu saja sangat berbeda dengan model kapitalisme Keynesian jaman Soeharto. Jika model ekonomi Keynesian membutuhkan negara yang kuat atau setidaknya dapat turut campur dalam mengatur kegiatan ekonomi maka hanya rezim otoriter yang memiliki peluang untuk itu, terutama di negara dunia ketiga, tentu saja di samping ia masih dalam bingkai kontrol negara tersebut oleh negara adi daya untuk menghindari ancaman komunisme.
Sementara itu, model kapitalisme neo-liberal yang justru menolak adanya campur tangan negara dalam ekonomi mengandaikan negara yang demokratis sebagai jalan bagi upaya untuk mendorong wacana ekonomi neo-liberal. Gelombang kuat kedua wacana itu, yakni kapitalisme neo-liberal dan demokrasi, semakin dapat diterima pasca terpaan dahsyat krisis ekonomi di asia. Di Indonesia, tak lama dari kejadian itu segera membuat rezim Soeharto jatuh. Krisis ekonomi tentu juga terjadi di Indonesia yang telah memporak-porandakan bangunan politik, dan terutama ekonomi
Indonesia semakin terpuruk secara ekonomi nilai tukar mata uang melambung begitu tinggi, barang-barang langka, hutang negara yang menumpuk, tetapi juga terjadi penjarahan, kekerasan, dll. Situasi sulit ini semakin membuat posisi negara donor atau organisasi donor menjadi penting dalam memberikan bantuan rekostruksi Indonesia pasca krisis. Kesepakatan hutang pun dibuat. Dan situasi ini semakin menguatkan wacana liberalisasi ekonomi dan demokratisasi negara menjadi wajah baru Indonesia.



D. Studi Indonesia Pasca Perang Dingin
Pengaruh berakhirnya perang dingin di Indonesia tidak hanya berlangsung dalam ranah politik dan ideologi (ekonomi), tetapi juga pada pada minat dan orientasi kajian-kajian para orientalis di Asia Tenggara, dalam hal ini Indonesia. Pergeseran minat akademis dari para Indonesianis itu terutama berlangsung dalam hal perubahan metodologi yang digunakan, tetapi juga dalam memberikan definisi tentang Indonesia. Pada masa perang dingin kajian tentang Indonesia sangat dipenagruhi oleh teori modernisasi dan memandang Indonesia dalam bingkai konsep-konsep yang prescriptive.
Teori modernisasi bersandar pada pengandaian dunia sosial sebagai sistem sosial yang berstruktur, atau dalam sosiologi disebut teori struktural fungsional. Teori ini menjadi silent partner Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya. Integrasi sosial merupakan salah satu bagian dalam konsep AGIL Parsonian, yang menjadi legitimasai kebijakan Soeharto yang bersifat integrasionistik dan karenanya otoriter.
Selain itu, ada pula konsep tentang adaptasi melalui alih teknologi, goal attaintment melaluitahap-tahap perencanaan pembangunan, dan sustainability yang mewujud dalam bentuk supremasi hukum misalnya melalui instrumen P4, merupakan perangkat-perangkat yang dibutuhkan bagi Indonesia dalam proses modernisasi kala itu. Teori ini bersifat prescriptive, karenanya kajain para Indonesianis modern masa Soeharto yang bersandar pada teori itu, menghasilkan konsep-konsep yang bersifat prescriptive pula
Pasca perang dingin, otoritarianisme perlahan mulai dipersoalkan. Para Indonesianis dan kajian-kajain yang dihasilkan pada masa perang dingin menajdi bahan kritik habis-habisan para Indonesianis selanjutnya. Mereka menolak teori modern menjadi sandaran dalam kajian akademis juga menolak model-model pendefinisian indoneisa yang prescriptive. Diantara mereka dapat disebut di sini antara lain Simon Philpott, Ben Anderson, Ariel Heryanto, Kenneth Young, dll.

Perangkat metodologi mereka berbeda dalam mengkaji Indonesia. Makin berkembangnya wacana sosial kontemporer seperti post-strukturalisme, post-modernisme, dan post-kolonialisme mempengaruhi cara mereka dan bacaan mereka dalam memandang dan mendefinisikan Indonesia.
Definisi tentang Indonesia juga telah bergeser bukan lagi sebagai negara sedang berkembang, masyarakat plural, formasi kapitalisme, dll sebagai konsep yang final, definisi yang monolitik, tetapi juga bersifat tendensius, melainkan definisi Indonesia menajdi lebih cair bukan sebagai sebuah bentuk yang fix tetapi sebagai ‘proses yang terus menjadi’. Salah satu konsepsi itu adalah Indonesia sebagai masyarakat pasca-kolonial (Anderson, 1991), (Philpott, 2000), Indonesia sebagai sebuah proses geo politico (Ariel, 2006).
Mengkritik habis-habisan kajain Indonesia sebelumnya, bersamaan dengan itu seturut pula dengan kritik mereka terhadap model pemerintahan otoriter Soeharto. Kritik itu misalnya ditunjukkan oleh Ariel dalam bukunya State Terorism and Political Identity in Indonesia Fataly Belonging dalam membaca Indonesia di era Soeharto menggunakan konsep governmentality ala Foucauldian yang memandang praktik otoritarianisme Soeharto sebagai bentuk terorisme negara mengatur warga negaranya.
Lebih jauh, dari beberapa nama-nama Indonesianis pasca perang dingin itu hasil kajian mereka alpa dalam berbicara tentang peran pasar dalam trianggulasi model hubungan masayarakat-negara-pasar. Kajian-kajian mereka lebih pada kajian budaya yang dimengarti sebagai sebuah pertarungan atau kontestasi representasi dan resistensi. Indonesia dipandang sebagai bagian dari wacana besar tentang identitas yang terlibat dalam pertarungan proses pendefinisian diri. Mereka alpa dalam menempatkan pasar sebagai isu yang tak kalah pentingnya menjadi persoalan Indonesia kini.




KESIMPULAN

Studi Indonesia pasca Soeharto, atau dapat pula dikatakan pasca perang dingin, menggeser arah kajian serta perangkat metodologi yang berbeda. Perkembangan ilmu sosial kontemporer di Eropa berperan besar dalam mempengaruhi arah baru kajian tentang Indonesia juga dalam memberikan definisi Indonesia. Mereka umumnya menggunakan perangkat teoritis mulai dari post-struktural hingga post-kolonial yang kelahirannya tidak bertolak dari rahim konteks sosio-historis perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
Kecenderungan itu secara sinis dapat dikatakan sebagai bagain dari sikap lattah terhadap mainstream perkembangan alat analisa yag mutakhir. Ia bukan wacana yang lahir secara berdarah-darah di Indonesia tetapi hanya diterima begitu saja sebagai sebuah tren dalam kajian akademis. Wacana-wacana itu, yang mempengaruhi metodologi dan orientasi kajian para Indonesianis kini mulai menguat pada masa berakhirnya komunisme Rusia.
Padahal di Eropa wacana itu telah berkembang dan menjadi bahan perdebatan hangat para intelektual di sana sejak awal tahun 1960-an, atau setidaknya akhir 1970-an. Lattah ini dapat dipandang sebagai bentuk euforia kebebasan dari kungkungan hantu otoritarianisme Soeharto. Namun anehnya, isi wacana ini, yang alpa mempersoalkan peran pasar seturut dengan menguatnya demokrasi dan demokratisasi di Indonesia, juga semakin kukuhnya kapitalisme pasar menjadi warna bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Apakah kondisi itu saling berkaitan?


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R O’G. 1983. Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective. Artikel dalam Jurnal of Asian Studies. Mei 1983.
-------------- 1991. Imagined Communities.
Feith, Herbert. 1980. Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru. Artikel dalam Jurnal Prisme Edisi November 1980.
Heryanto, Ariel. 2006. State Terorism and Political Identity in Indonesia Fataly Belonging. Routledge. England
-----------, 1993. pengantar dalam Politik Kelas Menengah Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Kahin, George Mc Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jogja.
King, Victor T. 1994. The Sociology of South-East Asia; A Critical Review of Some Concepts and Issues. Artikel dalam Journal of The Royal Institute of Linguistics and Anthropology.
Philpott, Simon. 2000. Rethinking Indonesia.
Said, Edward W. 1978. Orientalism. Routledge. London
Sutrisno, Lukman. 1994. Hubungan Negara dan Rakyat di Indonesia pada abad ke-21, Pidato pengukuhan Guru Besar UGM, 22 April 1994.
Tamara, Nasir. Mengkaji Indonesia (Pengaruh Amerika dalam Dunia Intelektual Indonesia). Bentang. Jogja. 1997.
Yoon Hwan Shin, 1989. Demystifying the Capitalist State: Political Patronage, Bureaucratic Interest, and Capitalist-in-Formation in Soeharto’s Indonesia. Disertasi Doktoral Yale University.