Monday, December 1, 2008

sang negarawan mencoba sukses kembali

sutrisno
Mantan Wakil Presiden ini dikenal sebagai seorang negarawan yang jujur, bersahaja, loyal, berdedikasi tinggi dan berpendirian teguh. Putra terbaik bangsa ini bukanlah seorang yang haus jabatan (ambisius) yang mau menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan tertentu. Mantan Panglima ABRI dan Ajudan Presiden Soeharto ini terbilang loyal kepada atasan namun selalu teguh pada pendirian. Ia selalu bijak dan bajik mengambil posisi sesuai batas-batas kepantasan tanggung jawabnya.

Kendati ia begitu loyal dan dekat dengan Pak Harto, baik sebagai ajudan dan Panglima ABRI (TNI) maupun sebagai Wakil Presiden, ia tetap bisa menjaga posisi. Seperti, tidak ikut dalam berbagai yayasan yang didirikan Pak Harto. Ia juga bisa menjaga jarak dengan para konglomerat yang dikenal dekat dengan penguasa ketika itu.

Maka tak heran ketika pencalonannya sebagai wakil presiden oleh Fraksi ABRI, Preisden Soeharto disebut-sebut kurang menyetujuinya dan merasa di-fait accompli. Namun walaupun begitu, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai Wapres dengan penuh dedikasi dan loyalitas.

Kemudian, pada periode berikutnya, 1997, banyak pengusaha dan profesional yang menghendakinya tetap menjadi wakil presiden yang suatu ketika dapat menggantikan Pak Harto sebagai Presiden. Namun Pak Harto dan Golongan Karya yang telah didominasi kalangan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) lebih memilih BJ Habibie. Ketika hal ini diisyaratkan bahwa wakil presiden harus menguasai teknologi, yang mengarah kepada BJ Habibie, pasar langsung bereaksi negatif yang membuat nilai rupiah makin merosot tajam hingga mencapai Rp17.000 per 1 US dollar.

Namun Pak Harto tak merespon keinginan pasar tersebut dan tetap memilih BJ Habibie menjadi wakil presiden yang kemudian bersama 14 menteri mempraktekkan ungkapan politik bahwa tidak ada persahabatan yang abadi tetapi kepentinganlah yang abadi.

Tidak demikian dengan Pak Try. Kendati Pak Harto lebih memilih BJ Habibie menjadi Wakil Presiden Kabinet Pembangunan VII, Try Sutrisno tetap membina hubungan baik dengan Pak Harto. Bahkan ketika Pak Harto ‘ditinggalkan’ BJ Habibie dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII yang mendorong Pak Harto memilih mengundurkan diri (lengser), Try Sutrisno tetap menghormati Pak Harto. Ia seorang dari sedikit pejabat Orde Baru yang tetap memberi dorongan moril dengan mengunjungi Pak Harto setelah lengser.

Padahal ketika itu, pasar masih menghendekakinya untuk tampil sebagai calon presiden. Dan ketika itu orang menduga-duga maksud keterlibatannya di Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) adalah dalam rangka pencalonannya menjadi presiden. Tetapi ia langsung menjawab bahwa ia tidak perlu dicalonkan menjadi presiden karena merasa sudah terlalu tua untuk itu.

Baginya ladang pengabdian tidak harus selalu ada di puncak kekuasaan. Melainkan sebagai seorang putera bangsa prajurit pejuang, ia bertekad mengabdi sepanjang hayat dalam berbagai bidang. Try Sutrisno, Purnawirawan Jenderal TNI AD yang menjadi Wakil Presiden masa pemerintahan Soeharto pada Kabinet Pembangunan VI, ini setelah pensiun dari berbagai tugas yang dibebankan negara, masih bergelut dan memimpin beberapa organisasi seperti, Pepabri, Lembaga Persahabatan Indonesia-Malaysia (PRIMA), pembina perkumpulan keagamaan “Spiritual Journeyff”, penasehat Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman yang bergerak di bidang pendidikan, yang membawahi UPN, Veteran dan SMU Taruna Nusantara.

Dan sejak bergulirnya reformasi, dikenal juga sebagai salah seorang Penasehat dan Sesepuh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dalam menuangkan sumbangan pemikiran dan aspirasinya bagi bangsa dan negara, ia pun aktif dalam "Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya”.

Pesuruh dan Pengasong
Mantan Pangdam Jaya kelahiran Surabaya, 15 November 1935, ini berasal dari keluarga sederhana. Subandi, ayahnya bekerja sebagai pengemudi mobil Ambulance PGD/DKK (Dinas Kesehatan Kota), dan Mardhiyah ibundanya seorang ibu rumah tangga yang sangat tekun mengasuh putra/putrinya. Orang tuanya dikenal sebagai pasangan suami-isteri yang harmonis, jujur dan berdisiplin serta menerapkan sistem pendidikan yang keras bernuansa agamis. Pendidikan yang kemudian tertanam kepada Try, putera ketiga mereka dan saudara-saudaranya.

Lahir sebelum kemerdekaan dan melewati masa remajanya pada saat revolusi, membuat masa kecil Try boleh dikatakan cukup keras. Perang dan mengungsi menjadi satu sejarah yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Ketika Pasukan Sekutu, yang di dalamnya termasuk tentara Belanda mendarat dan menduduki kota Surabaya antara tahun 1946-1948, para Pejuang Republik melakukan perlawanan yang gigih dan gagah berani.

Namun karena kekuatan Pasukan Sekutu dengan Pasukan Pejuang tidak seimbang, akhirnya para pejuang menarik diri dan menyiapkan perang berlarut dengan menggunakan strategi dan taktik perang gerilya bersama seluruh rakyat. Dalam situasi seperti itu, masyarakat kota Surabaya, termasuk keluarga Try, akhirnya harus mengungsi ke luar kota. Keluarganya ketika itu mengungsi ke Mojokerto. Pak Subandi, sang ayah kemudian selama mengungsi bergabung di Bagian Kesehatan Batalyon Poncowati di Purwoasri, Kediri.

Try yang baru berusia 11 tahun waktu itu, terpaksa sekolah terhenti, karena harus mencari nafkah untuk meringankan beban hidup keluarga dengan menjual air minum, kemudian menjual koran, dan akhirnya menjadi penjual rokok di stasiun Mojokerto.

Dua tahun dalam pengungsian, tepatnya pada tahun 1948, bertepatan dengan usianya yang baru 13 tahun, ia diangkat sebagai Tobang (pesuruh) di Batalyon Poncowati, kemudian menjadi kurir sekaligus sebagai anggota PD (Penyelidik Dalam) dengan tugas mencari informasi ke daerah pendudukan Belanda dan kemudian menyampaikannya kepada para pejuang Republik, sembari membawa perbekalan dan obat-obatan.

Keadaan mulai tenang sehubungan setelah adanya pengakuan kedaulatan yakni pada tahun 1949, keluarganya kembali ke Surabaya. Try kemudian melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sekitar 3 tahun ke Perguruan Taman Siswa, sekolahnya sebelumnya pada zaman Jepang, sambil membantu kakaknya berjualan ayam di pasar Genteng. Demikian juga dengan ayahnya, kembali bekerja di Dinas Kesehatan Kota. Tidak berdinas di lingkungan Tentara/TNI lagi sebagaimana masa pengungsian. Sang ayah akhirnya pensiun sebagai Pegawai Negeri dari Dinas Kesehatan Kota pada tahun 1953.

Tempaan masa perang yang keras dan sarat dengan tantangan inilah, yang dikemudian hari membentuk watak dan mental kepejuangan Try Sutrisno yang teguh, tegar, dan penuh semangat dalam menghadapi setiap permasalahan. Demikian pula menempah sifat dalam jiwanya sehingga selalu sederhana dalam segala hal, tidak mudah terhanyut oleh arus trend masanya, tidak mudah tergiur dan terseret oleh iming-iming yang bersifat keduniawian, serta senantiasa berpegang pada prinsip kejujuran, kebenaran dan keadilan.

Sifatnya yang sejak kecil selalu baik, jujur, setia, dan suka menolong orang yang dalam kesulitan, itu membuat kawan-kawannya selalu menyenangi dan menyeganinya. Dan karena kesetiaannya dalam berteman, membuat teman-temannya selalu menjadikannya sebagai pemimpin kelompoknya.

Olahraga yang disenanginya, terutama sejak SMP adalah bersepeda, pencak silat, angkat besi dan renang. Dari olahraga angkat besi sudah ditekuninya dengan serius sejak SMP, membuat bentuk tubuhnya atletis bagai huruf "V”. Bentuk bahu dan pundaknya yang kekar mengembang dengan otot-otot yang keras menonjol seperti yang terlihat sampai hari tuanya itu merupakan hasil dari kegemarannya pada olahraga angkat besi tersebut.

Setamat dari SMP II Surabaya, ia melanjut ke SMA II. Sekolahnya yang selalu terputus-putus dan tersendat-sendat terutama ketika di SR akibat suasana perang di masa itu, membuatnya tamat SMA tahun 1956, pada saat usianya sudah 21 tahun.

Ia disenangi oleh kawan-kawannya sejak si abngku SR, SMP dan SMA. Bukan saja karena pribadinya yang baik, jujur, setia dan dermawan, tetapi karena postur tubuhnya yang gagah dengan wajah bersih dan tampan bagai Elvis Presley. Tak heran bila banyak di antara teman-teman wanita di sekolahnya, baik sewaktu masih di SMP maupun di SMA, yang secara diam-diam maupun terang-terangan sebagaimana umumnya remaja, menaruh rasa simpati dan bahkan tak sedikit yang jatuh hati kepadanya.

Masuk Tentara
Selepas dari SMA (1956), Try yang sejak semula sangat ingin menjadi tentara, serta ingin mengabdikan segenap jiwa raganya kepada nusa dan bangsa, tertarik untuk mendaftarkan diri dan mengikuti test masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad). Setelah melewati test akademi yang dilaksanakan di Surabaya, Try dinyatakan lulus. Tapi kemudian dalam test kesehatan yang dilaksanakan di Malang, ia dinyatakan tidak memenuhi syarat. Namun atas perhatian dan perintah dari Jenderal GPH Djuatikusumo ia mendapatkan panggilan kembali. Bersama yang lainnya ia kemudian dikirim ke Bandung untuk mengikuti Phsychotest. Akhirnya Try dinyatakan diterima sebagai Taruna Akademi Genie yang kemudian berubah nama menjadi Atekad.

Di Atekad, Try mengikuti pendidikan pada Cabang Zeni. Ketika berpangkat Kopral Taruna, Try ditugaskan ke Aceh. Kemudian pada saat menjadi Sersan Taruna, dia bersama teman-temannya sempat dikirim ke daerah Operasi Penumpasan Pemberontakan PRRI/Permesta di daerah Sumbar. Mayjen TNI GPH Djatikusumo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat (Dirziad) sengaja mengirimkan para taruna ke daerah operasi yang sebenarnya, agar mereka memiliki bekal pengalaman nyata pada pelaksanaan tugasnya kelak, pengalaman yang tak mungkin didapatkan di Lembaga Pendidikan.

Perjalanan Karir
Lulus dari Atekad di tahun 1959, dengan pangkat Letda Czi, ia ditugaskan pertama kali di Kodam IV /Sriwijaya sebagai Dan Ton Zipur. Kemudian pada tahun 1962 ditugaskan pada Yon Zikon Komando Mandala di Kendari. Seusai tugas Mandala, ia yang waktu itu sudah berpangkat Lettu Czi kembali ke satuan Induknya Kodam IV/Sriwijaya sebagai Dan Kima Yon Zikon-2/Dam IV SWJ. Pada tahun 1962 Lettu Try mengikuti pendidikan MOS Pazikon. Dan tahun 1964 ia mengikuti Latihan Dasar Para.

Tahun 1965 ia pindah ke Jakarta sebagai Dan Ki Dump Truck. Setelah lulus mengikuti pendidikan Kupaltu di tahun 1965, ia dilantik menjadi Kapten pada 1 Januari 1966 dan diangkat menjadi Dan Ki I/Dump Truck, kemudian menjadi Wadan Denma Ditziad. Pada tahun 1967 Kapten Try Sutrisno ini sempat mengikuti Latihan MOS Amfibi. Kemudian dari Ditziad tahun 1968, ia dipindahtugaskan ke Bandung sebagai Wadan Yonzipur-9/Para. Tahun itu pula ia mengikuti tugas belajar di Suslapa Zeni.

Pada tahun 1970 naik pangkat menjadi Mayor Czi, dan dipercaya memimpin Yonzipur/Amfibi di Pasuruan. Tahun 1972 seusai mengikuti pendidikan Seskoad, ia naik pangkat menjadi Letkol Czi dan pindah ke Mabesad Jakarta sebagai Karo Binlatsat Staf Operasi TNI AD. Pada tahun 1977 ia dikirim ke Bandung untuk mengikuti pendidikan Seskogab ABRI.
***
Di tengah kesibukannya itu, ia tidak pernah melupakan kekasih hatinya, Tuti Sutiawati seorang mojang Bandung, puteri pertama dari pasangan Sukarna - Hj. Hasanah. Pak Sukarna ini adalah seorang guru yang dikenal jujur, cakap dan berdisiplin, yang hingga akhir hayatnya sepenuhnya mengabdikan diri di lingkungan pendidikan.

Pada tanggal 5 Februari 1961, Try resmi menikah dengan Tuti Sutiawati dan kemudian telah melahirkan baginya 4 orang putera dan 3 orang puteri. Dalam mendidik keluarganya, Try selalu bertolak pada pola hidup sederhana, berdisiplin dan menjunjung tinggi nilai-nilai aturan hukum, tradisi budaya dan syariat agama. Pasangan suami-isteri ini dikenal sangat harmonis dan bersahaja.

Dari 4 orang puteranya, seorang mengabdikan diri sebagai anggota Polri, dan yang seorang lagi mengabdikan diri sebagai anggota TNI AD mengikuti jejaknya. Sementara puteri sulungnya yang berprofesi sebagai dokter gigi, bersuamikan seorang anggota TNI AD juga, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, yang menjabat Kasad pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
***
Kesempatan yang langka akhirnya diperoleh pada saat ia berpangkat Letkol. Pada tahun 1974 ia ditugaskan menjadi Ajudan Presiden RI, Soeharto ketika itu. Selang dua tahun, ia naik pangkat menjadi Kolonel Czi. Banyak pengalaman berharga yang berhasil dia timba selama dirinya bertugas sebagai Ajudan Presiden. Ia mengetahui tentang aturan protokoler, etiket kalangan atas, pergaulan dengan para pejabat tinggi negara, sistem pengamanan VVIP, sistem administrasi level puncak, mekanisme pengambilan keputusan dalam berbagai masalah kenegaraan, kesibukan tugas seorang Kepala Negara, bagaimana cara Pejabat Tinggi membagi waktu, sikap Pemimpin Negara dalam menghadapi situasi kritis, tingginya semangat juang dan tanggung jawab seorang Pemimpin dalam mengemban amanah kepemimpinannya, dan lain-lain.

Dua tahun sesudah menyandang pangkat Kolonel, tepatnya pada tahun 1978, ia ditugaskan menjabat sebagai Kasdam XVI/Udayana yang bermarkas di Denpasar, mendampingi Mayjen TNI Dading Kalbuadi yang kala itu menjabat Pangdam.

Setahun kemudian yakni tahun 1979, ketika masih menjabat sebagai Kasdam XVI/Udayana, pangkatnya dinaikkan menjadi Brigjen TNI, dan tak lama kemudian diangkat menjadi Pangdam IV/Sriwijaya. Pada saat menjabat Pangdam IV/Swj itu ia melaksanakan Operasi Ganeca, yakni sebuah operasi lingkungan hidup berupa pengembalian gajah-gajah ke habitatnya. Selain itu, ia yang sekaligus bertindak selaku Laksusda Sumatera Selatan, juga giat menjalankan operasi pemberantasan penyelundupan timah, dan pemberantasan kriminalitas yang amat meresahkan masyarakat setempat pada masa itu. Dan pada saat menjabat Pangdam itu pulalah yakni pada tahun 1980, ia diangkat menjadi Anggota MPR RI Utusan Daerah Sumatera Selatan.

Kemduian, pada 1 Desember 1982, ia diangkat menjadi Pangdam V/Jaya hingga tahun 1985 dan pangkatnya juga naik menjadi Mayjen TNI. Di masa pengabdiannya memimpin Kodam V/Jaya inilah Try dihadapkan dengan beberapa peristiwa gangguan kemanan ibu kota yang cukup menyita perhatian. Di antaranya, yaitu peristiwa terbakarnya Toserba Sarinah, peristiwa Tanjung Priok, dan peristiwa peledakan bom di sebuah Kantor Cabang Bank BCA.

Agustus 1985 pangkatnya dinaikkan lagi menjadi Letjen TNI sekaligus diangkat menjabat Wakasad mendampingi Kasad. Jenderal TNI Rudhini ketika itu. Dan pada tahun itu juga, dirinya dipercaya memimpin organisasi olahraga bulutangkis PB. PBSI, yang merupakan cabang olahraga idola masyarakat. Pada masa jabatannya di organisasi tersebut, ia banyak mengadakan penyegaran di tubuh PB. PBSI yang saat itu sedang mengalami krisis pemain dan krisis prestasi.

Ia bersama Pengurus Pusat bekerjasama dengan seluruh Pengurus Daerah membuat Program Pembinaan PBSI jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Ia juga merintis berdirinya Pelatda-Pelatda dan Pelatnas serta mendirikan Yayasan PBSI sebagai wadah pembibitan kader pemain di daerah-daerah dan pusat.

Hasil dari pembinaannya selama dua periode itu beberapa tahun kemudian langsung terlihat, dan puncaknya adalah diraihnya 2 (dua) medali emas, 2 (dua) medali perak dan 1 (satu) medali perunggu pada event Olimpiade Barcelona tahun 1992. Ia memimpin PB. PBSI selama dua periode yakni dari tahun 1985 hingga tahun 1993, dan kemudian digantikan oleh Letjen TNI Suryadi.

Tak lama menjabat sebagai Wakasad, pada bulan Juni tahun 1986 atau sepuluh bulan sejak diangkat menjadi Wakasad, ia pun kemudian diangkat menjadi Kasad menggantikan Jenderal TNI Rudhini.

Selama menjadi Kasad, yang hanya sekitar satu setengah tahun, Try mengakui tak sempat berbuat banyak dalam membina TNI AD. Ia dengan jujur mengatakan hanya bisa melakukan beberapa pembenahan terbatas di bidang pembinaan personil (terutama pendidikan dan latihan serta pembinaan karier) dan pembinaan material (terutama penataan persenjataan satuan tempur dan asrama prajurit), karena pada awal tahun 1988 ia dipromosikan menjadi Pangab menggantikan Jenderal TNI LB. Moerdani. Namun walaupun begitu ia masih sempat merintis berdirinya Badan TWP TNI AD (Tabungan Wajib Perumahan TNI AD), yang bertujuan membantu para prajurit TNI AD dan PNS TNI AD dalam pengadaan rumah murah yang terjangkau oleh kemampuan mereka, dengan dilandasi oleh semangat gotong royong seluruh warga TNI AD.

Jenderal TNI Try Sutrisno memimpin ABRI, sejak tahun 1988 hingga tahun 1993. Ketika itu ABRI masih terdiri dari institusi TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan POLRI. Banyak peristiwa penting yang patut dicatat selama kepemimpinannya, seperti meletusnya kembali pemberontakan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) di Aceh pada pertengahan tahun 1989, menyusul dibubarkannya Kodam I/Iskandarmuda. GPK separatis Aceh tersebut merupakan kelanjutan (kambuhan) dari GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) yang lahir pada tahun 1976 dan yang telah berhasil ditumpas pada tahun 1982.

Seiring dengan era keterbukaan yang merebak ke semua sendi kehidupan, GPK Aceh generasi 1989 ini semakin berkembang dengan adanya dukungan politik, militer, maupun logistik, dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dan dibantu serta dikendalikan dari luar negeri.

Pada tahun 1992 gerakan separatis ini berhasil diredam dan dilokalisasi, dan banyak dari anggotanya yang menyerahkan diri dan bersumpah untuk tetap setia kepada NKRI. Ini terjadi semasa Pangdam Bukit Barisan dijabat oleh Mayjen TNI Pramono. Bahkan pelaksanaan Pemilu 1992 di Aceh tersebut ketika itu bisa berlangsung dengan aman, tertib serta berjalan lancar di seluruh daerah. Perkembangan kondisi Aceh selanjutnya setelah Try tak lagi menjadi Pangab, memang menampakkan trend ancaman dengan eskalasi yang semakin meningkat, disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks.

Kemudian, selain gangguan keamanan di Aceh, pada awal tahun 1990 itu di Lampung juga terjadi Peristiwa Talangsari. Peristiwa ini terjadi karena adanya di sana sebuah gerakan perlawanan terhadap Pemerintah yang sah, yang berbau radikalisme dan fanatisme sempit aliran keagamaan.

Dan pada tahun 1991, terjadi juga Peristiwa Santa Cruz yang memakan banyak korban jiwa. Saat itu para anggota gerombolan GPK Timtim (Fretilin) turun ke kota melakukan provokasi kepada masyarakat, dengan melakukan demonstrasi secara brutal menentang integrasi, menyusul dibukanya daerah Timtim dengan dunia luar.

Dalam masalah keamanan dalam negeri saat itu, ia memfokuskan perhatiannya untuk memelihara kondisi stabilitas keamanan di tiga daerah rawan yakni, Aceh, Timtim, dan Irian Jaya. Sehingga ia dengan jajaran ABRI serta dengan dukungan seluruh rakyat, berhasil memelihara stabilitas keamanan di ketiga daerah tersebut dalam tingkat yang kondusif untuk menjalankan program pembangunan nasional, maupun dalam menunjang kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat.

Belakangan setelah tidak menjabat pimpinan militer lagi, ia mengaku, masih mempunyai dua ganjalan hati dan fikiran ketika meninggalkan jabatan tersebut. Kedua ganjalan hati Jenderal tampan yang terkenal ramah ini yang belum bisa direalisasikannya secara tuntas adalah: Pertama, keinginannya untuk melengkapi (mengganti) alat utama sistem persenjataan ABRI yang sebagian besar sudah sangat ketinggalan zaman; serta Kedua, keinginannya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan prajurit (makan, perlengkapan perorangan, dan perumahan).

Kedua hal tersebut tidak dapat dituntaskannya, disebabkan oleh alokasi anggaran pertahanan keamanan yang sangat minim, yang saat itu juga diakui dan bahkan menjadi keprihatinan para Anggota DPR (khususnya Komisi I).

Namun di tengah-tengah keterbatasan anggaran untuk ABRI, ia masih sempat melakukan penggantian sebagian kecil Alut Sista TNI AD yakni peluru kendali Rapier untuk pengamanan obyek vital Arun dan Bontang. Demikian pula penggantian Alut Sista TNI AL dengan beberapa kapal bekas pakai. Juga pembaruan terhadap beberapa Alut Sista TNI AU berupa pengadaan pesawat tempur F-16 dan pesawat latih kelas Charlie, walaupun pembayarannya dengan cara dicicil (multi year program). Sedangkan POLRI mendapatkan perhatian pada pengadaan peralatan khusus untuk keperluan penyidikan, serta perlengkapan untuk Satuan Reserse dan Satuan Lalu Lintas.

Wakil Presiden
Majelis Permusyawaratan Rakyat masa bakti 1992 – 1997 melalui Sidang Umumnya pada tahun 1993, akhirnya memilih putra bangsa ini menjadi Wakil Presiden RI mendampingi HM. Soeharto, presiden terpilih saat itu. Adalah Fraksi ABRI MPR-RI yang lebih dahulu mencalonkannya, mendahului pilihan terbuka dari Presiden Soeharto ketika itu. Suatu hal yang tidak lazim pada era Orde Baru itu. Konon, Presiden Soeharto merasa di-fait accompli.

Dalam pidato pelantikannya, Try berjanji akan membantu tugas-tugas Presiden RI secara optimal sekuat kemampuannya, berdasarkan ketentuan konstitusi dan dengan mengindahkan pengarahan Bapak Presiden. Terpilihnya dirinya sebagai Wapres RI, disikapinya dengan sikap khudhu, tawadhu, dan tasyakur, menyadari bahwa semua itu tak akan terjadi tanpa izin Allah SWT. Dan sesuai dengan batas kewenangan dan tanggungjawabnya selaku Pembantu Presiden, fokus perhatian Try selama menjabat Wapres adalah pada bidang pengawasan atas penyelenggaraan pembangunan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Selama lima tahun menjabat Wapres itu, isterinya, Ny. Tuti Sutiawati, aktif dalam kegiatan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dan berbagai kegiatan sosial lainnya, khususnya yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan, kesehatan, dan pelayanan sosial.

Pada tahun 1998 tugasnya sebagai Wapres berakhir, dan kemudian digantikan oleh BJ. Habibie pada Sidang Umum MPR 1998.

Hukum tentang Tembakau dan Peran BPK

Sejak tahun 1978 Komite Ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Pengendalian Merokok di Negara berkembang telah mengingatkan bahwa “Dalam ketiadaan tindakan pemerintah yang kuat dan dapat memecahkan masalah ini, kita menghadapi suatu kemungkinan serius bahwa wabah tembakau akan mempengaruhi dunia (Negara) berkembang dalam satu dasa warsa dan masalah kesehatan utama yang (sesungguhnya) dapat dicegah akan menjadi masalah yang makin rumit di Negara-negara yang paling lemah kemampuannya dalam menghadapinya karena alasan ganda kuatnya industri tembakau dan ketidak aktifan pemerintah”. Dengan kata lain wabah tembakau (atau wabah merokok) hanya dapat terjadi jika Pemerintah sebuah Negara lemah. Dalam kaitannya dengan tata kelola keuangan Negara, “lemah” dalam kalimat itu bisa diartikan para pejabatnya banyak melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan. Sejak saat itu Tim Ahli WHO tersebut telah menyodorkan serangkaian rekomendasi tentang Strategi Pengendalian Merokok yang diharapkan untuk dilakukan oleh Negara berkembang, termasuk Indonesia. Saran-saran itu antara lain mencakup agar Negara berkembang membentuk badan antar departemen yang terdiri atas wakil-wakil dari departemen yang memiliki kaitan dengan tembakau dan kesehatan seperti departemen pertanian, perdagangan, perindustrian, pendidikan, agama dan kesehatan yang dipimpin oleh wakil dari departemen Kesehatan untuk memastikan kesatuan tujuan (yaitu mengendalikan wabah merokok untuk melindungi kesehatan masyarakat). Namun setelah lebih dari dua dasa warsa, saran-saran Tim ahli WHO tidak banyak diikuti para pemimpin Negara Indonesia meskipun bila saran saran itu diikuti akan meningkatkan citra Negara kita sebagai Negara dengan Pemerintah yang Bersih dan Pemerintahan yang Baik (Clean Government - Good Governance), setidaknya disektor pembangunan kesehatan. Tulisan ini akan membahas hukum internasional tentang tembakau atau kesehatan –yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), manfaatnya bagi pemberdayaaan peran Badan Pemeriksa Keuangan BPK, serta bagi kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat jika Indonesia meratifikasi hukum internasional tersebut.
Pentingnya WHO-FCTC

Seperti telah dijelaskan diatas, meskipun sejak tahun 1978 Tim Ahli Kesehatan WHO tentang Strategi Pengendalian Merokok Negara berkembang telah menyodorkan sederet saran untuk mengendalikan wabah merokok untuk mencegah munculnya beban baru atas tingginya angka penyakit dan masalah kesehatan yang berkaitan dengan merokok berikut konsekwensi social ekonominya- namun saran itu dapat dikatakan tidak pernah digubris oleh para pemimpin Indonesia. Sementara Negara-negara maju dan Negara Negara berkembang yang memiliki pemimpin yang berwawasan kesehatan telah berhasil menerapkan startegi pengendalian merokok sehingga berdampak pada berkurangnya penyakit penyakit akibat merokok dan manfaat social ekonominyapun telah mulai mereka peroleh (yaitu penghematan biaya kesehatan), bencana akibat wabah tembakau di Indonesia mulai kita rasakan sejak tahun 1990 an. Sebagai contoh, sejak tahun-tahun itu penyakit jantung pembuluh darah (yang 30% darinya disebabkan oleh merokok) telah jadi sebab utama kematian penduduk Indonesia dan kitapun sulit memberantas narkoba yang penggunanya sering memulainya dari merokok. Kehadiran hukum internasional tentang pengendalian tembakau yang dibuat oleh Negara-negara anggota WHO dan ditujukan untuk melindungi kesehatan generasi sekarang dan yang akan datang yang dikenal dengan nama WHO-Framework Convention on Tobacco Control (WHO-FCTC) seharusnya kita terima sebagai sebuah rahmat. Meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengharapkan semua Negara menyetujui ide dan meratifikasi hukum internasional ini, namun tidak ada paksaan kapan suatu Negara harus mulai meratifikasi hukum internasional ini kedalam hukum nasionalnya. Hanya saja, ketika sudah ada 168 negara menandatangani (sebagai tanda menyetujui ide) dan 140 negara meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengkonfirmasi secara resmi atas WHO FCTC ini, Indonesia dimata dunia Internasional seperti Negara tidak punya kemauan untuk melindungi kesehatan mesyarakatnya karena tidak melakukan hal yang telah dilakukan hampir semua Negara anggota WHO. Indonesia tampak makin menjadi sebuah Negara yang memiliki Pemerintah yang kotor dan Pemerintahan yang buruk (dirty government – bad governance) karena tata kelola negara dan keuangan Negara yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan semakin jauh dari apa yang disarankan dalam pasal-pasal yang ada didalam FCTC. Ketika wakil dari Indonesia menghadiri pertemua konsultatif terakhir tentang FCTC di WHO – Jenewa tahun 2006 ini, wakil dari Indonesia sampai dipermalukan karena secara simbolik mendapat hadiah asbak (tempat meletakkan puntung rokok) –sesuatu yang susungguhnya amat menghinakan- karena Negara kita memiliki prevalensi merokok yang relative tinggi (sekitar 60 % penduduk laki-laki merokok) tapi belum menerapkan hukum tentang tembakau yang dirancang untuk melindungi kesehatan generasi sekarang dan akan datang. Meskipun di Indonesia sudah ada produk hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan, tetapi produk hukum ini terlalu longgar –khususnya jika dibandingkan dengan WHO-FCTC, dan serba dilanggar sehingga menjadikan Indonesia seperti Negara tanpa hukum tentang tembakau atau kesehatan.

Peran BPK

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan genap berumur 60 tahun pada tanggal 1 Jauari 2007, suatu usia yang seharusnya menjadikan BPK semakin dapat menjalankan misinya untuk mewujudkan diri sebagai auditor eksternal keuangan negara yang bebas dan mandiri dalam upayanya menjadikan Negara Indonesia bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sesuai dengan motto BPK yaitu “Pemerintah yang bersih dan Pemerintahan yang baik” (Clean Government – Good Governance). Untuk itu para pejabat BPK perlu memahami bahwa peraturan atau produk hukum atau kebijaksanaan publik dan tata kelola Negara dan keuangan Negara yang berkait dengan tembakau atau kesehatan yang disarankan oleh WHO-FCTC yang dikumandangkan tahun 2005 jika diratifikasi kedalam hukum nasional kita sebenarnya juga akan dapat membantu BPK melaksanakan perannya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Berikut adalah contoh contohnya. Dalam WHO-FCTC Bagian III pasal 6 dijelaskan cara-cara yang berkaitan dengan pengurangan permintaan (demand) atas tembakau. Pada Ayat 1 pasal ini semua Negara anggota WHO diminta untuk mengenali bahwa pengaturan harga dan pajak (tembakau) merupakan suatu cara yang penting untuk mengurangi konsumsi tembakau oleh berbagai segmen masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja. Pada Pasal 2 (a) semua Negara diminta menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pajak dan kebijaksanaan-kebijaksanaan harga atas produk tembakau sedemikian rupa sehingga dapat membantu pencapaian tujuan tujuan kesehatan yang ditujukan untuk mengurangi konsumsi tembakau. Negara yang bisa menjadi teladan dalam menerapkan pasal pasal ini –bahkan jauh sebelum WHO FCTC dikumandangkan antara lain adalah Kanada, Australia dan Brunei Darussalam. Tahun 1981, saat Harga Rokok Nyata atau HRN (Real Cigarette Price atau RCP) di Kanada adalah 0.9 US$, prevalensi merokok pria Kanada umur 15-19 tahun adalah sekitar 47 %. Dengan maksud mengurangi daya jangkau anak-anak dan remaja pada produk yang membahayakan kesehatan ini, setiap tahun Pemerintah Kanada menaikkan HRP-nya sehingga pada tahun 1991, saat HRP-nya mencapai sekitar 3,72 US $, prevalensi merokok pria Kanada umur 15-19 tahun sudah sangat turun menjadi hanya 16 %. Seorang ahli ekonomi kesehatan dari Center for Disease Control USA membantah bahwa peningkatan harga seperti itu akan sangat merugikan Negara yang ekonomi nasionalnya sangat tergantung pada industri tembakau. Menurutnya, meskipun peningkatan harga menurunkan omzet penjualan, tapi karena nilai nominal setiap penjualan meningkat, hasil kali dari jumlah rokok yang dijual dengan HRP-nya akan menghasilkanm jumlah yang lebih kurang sama, bahkan pada banyak contoh justru kebih besar. Namun, menurutnya manfaat yang penting bagi kesehatan masyarakat adalah anak-anak dan remaja serta orang miskin yang lebih peka terhadap kenaikan HRN akan lebih terlindungi dari ancaman bahaya merokok karena konsumsi mereka atas produk yang membahayakan kesehatan ini secara otomatis akan menurun. Australia, khususnya Negara bagian Victoria, merupakan contoh yang baik dalam hal pengendalian tembakau untuk melindungi kesehatan masyarakat, khususnya dalam hal tata kelola keuangan Negara yang bersumber dari pajak tembakau. Sejak tahun 1985 di Negara bagian itu diberlakukan Akta Tembakau (Tobacco Act), sebuah Undang-undang yang disamping berisi larangan iklan rokok dalam segala bentuk juga berisi peraturan untuk mengalokasikan sebagian –katakanlah sekitar 10 %- dari pajak tembakau untuk pendidikan atau promosi kesehatan- khususnya untuk pendidikan tentang bahaya merokok bagi kesehatan manusia. Alasan mereka sangat masuk akal, pajak adalah uang rakyat, seharusnya digunakan sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan rakyat, dan salah satu komponen penting dari kejahteraan rakyat adalah pendidikan kesehatan rakyat. Tahun 2002, hanya 2 minggu setelah Sultan Hassanal Bolkiah mengumumkan Brunei Darussalam menyatakan perang melawan merokok, harga berbagai merek rokok yang semula sudah sekitar 10 dolar Brunei (atau 50 ribu rupiah) dinaikkan menjadi 15 dolar Brunei dengan tujuan yang sama seperti apa yang dilakukan Pemerintah Kanada pada contoh diatas. Di Negara Negara yang pemimpinnya berwawasan kesehatan seperti Kanada, Australia dan Brunei Darussalam itu tentulah pekerjaan lembaga auditor eksternal atas tata kelola keuangan Negara -yang menyerupai BPK-nya Indonesia- akan lebih memiliki landasan untuk berperan optimal dalam memeriksa dan mengawasi tata kelola keuangan Negara yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan agar Negara tidak tercemar oleh praktek-praktek KKN yang berkaitan dengan tembakau dan kesehatan. Di Negara-negara seperti itu –sebagai contoh, pejabat tinggi ataui lembaga militer atau kepolisian Negaranya mungkin akan berpikir berkali kali sebelum mengijinkan pemasangan papan iklan (bill board) rokok raksasa seperti yang ada di atas atap sebuah Markas Angkatan Laut di Jalan Gunung Sahari- Senen Jakarta, atau di halaman depan markas Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya Jl, Jenderal Gatot Subroto - Jakarta. Jika pejabat tinggi Militer atau Kepolisian Negara disana melakukan apa yang dilakukan petinggi Militer atau Kepolisian di Indonesia, mungkin mereka akan diperiksa oleh lembaga semacam BPK dan menghadapai risiko dituduh melakukan KKN dengan industri tembakau. Lebih lanjut mereka bahkan bisa terkena sangsi hukum karena melakukan tindakan melawan hukum. Dengan kata lain, ratifikasi WHO-FCTC bisa membuat lembaga BPK mempunyai dasar hukum untuk mencegah KKN tembakau atau kesehatan. Sebaliknya, sangat kurangnya peran BPK kita dalam mewujudkan Pemerintah yang Bersih dan Pemerintahan yang Baik –utamanya bila dipandang dari masalah tembakau atau kesehatan- sedikit banyak disebabkan oleh karena lemahnya keberpihakan hukum kepada kesehatan masyarakat - salah satu komponen penting dalam kesejahteraan masyarakat- Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Agar BPK dapat berperan menjadi auditor eksternal keuangan negara yang bebas, mandiri, profesional, efektif, efisien, dan modern sesuai dengan praktik internasional terbaik untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN –khususnya yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan, maka semua lembaga pemerintah, termasuk BPK sendiri- perlu memberi dukungan penuh pada upaya para pembela pengendalian tembakau Indonesia agar Indonesia meratifikasi WHO-FCTC.
silahkan kirim email disini