Monday, December 1, 2008

Hukum tentang Tembakau dan Peran BPK

Sejak tahun 1978 Komite Ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Pengendalian Merokok di Negara berkembang telah mengingatkan bahwa “Dalam ketiadaan tindakan pemerintah yang kuat dan dapat memecahkan masalah ini, kita menghadapi suatu kemungkinan serius bahwa wabah tembakau akan mempengaruhi dunia (Negara) berkembang dalam satu dasa warsa dan masalah kesehatan utama yang (sesungguhnya) dapat dicegah akan menjadi masalah yang makin rumit di Negara-negara yang paling lemah kemampuannya dalam menghadapinya karena alasan ganda kuatnya industri tembakau dan ketidak aktifan pemerintah”. Dengan kata lain wabah tembakau (atau wabah merokok) hanya dapat terjadi jika Pemerintah sebuah Negara lemah. Dalam kaitannya dengan tata kelola keuangan Negara, “lemah” dalam kalimat itu bisa diartikan para pejabatnya banyak melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan. Sejak saat itu Tim Ahli WHO tersebut telah menyodorkan serangkaian rekomendasi tentang Strategi Pengendalian Merokok yang diharapkan untuk dilakukan oleh Negara berkembang, termasuk Indonesia. Saran-saran itu antara lain mencakup agar Negara berkembang membentuk badan antar departemen yang terdiri atas wakil-wakil dari departemen yang memiliki kaitan dengan tembakau dan kesehatan seperti departemen pertanian, perdagangan, perindustrian, pendidikan, agama dan kesehatan yang dipimpin oleh wakil dari departemen Kesehatan untuk memastikan kesatuan tujuan (yaitu mengendalikan wabah merokok untuk melindungi kesehatan masyarakat). Namun setelah lebih dari dua dasa warsa, saran-saran Tim ahli WHO tidak banyak diikuti para pemimpin Negara Indonesia meskipun bila saran saran itu diikuti akan meningkatkan citra Negara kita sebagai Negara dengan Pemerintah yang Bersih dan Pemerintahan yang Baik (Clean Government - Good Governance), setidaknya disektor pembangunan kesehatan. Tulisan ini akan membahas hukum internasional tentang tembakau atau kesehatan –yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), manfaatnya bagi pemberdayaaan peran Badan Pemeriksa Keuangan BPK, serta bagi kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat jika Indonesia meratifikasi hukum internasional tersebut.
Pentingnya WHO-FCTC

Seperti telah dijelaskan diatas, meskipun sejak tahun 1978 Tim Ahli Kesehatan WHO tentang Strategi Pengendalian Merokok Negara berkembang telah menyodorkan sederet saran untuk mengendalikan wabah merokok untuk mencegah munculnya beban baru atas tingginya angka penyakit dan masalah kesehatan yang berkaitan dengan merokok berikut konsekwensi social ekonominya- namun saran itu dapat dikatakan tidak pernah digubris oleh para pemimpin Indonesia. Sementara Negara-negara maju dan Negara Negara berkembang yang memiliki pemimpin yang berwawasan kesehatan telah berhasil menerapkan startegi pengendalian merokok sehingga berdampak pada berkurangnya penyakit penyakit akibat merokok dan manfaat social ekonominyapun telah mulai mereka peroleh (yaitu penghematan biaya kesehatan), bencana akibat wabah tembakau di Indonesia mulai kita rasakan sejak tahun 1990 an. Sebagai contoh, sejak tahun-tahun itu penyakit jantung pembuluh darah (yang 30% darinya disebabkan oleh merokok) telah jadi sebab utama kematian penduduk Indonesia dan kitapun sulit memberantas narkoba yang penggunanya sering memulainya dari merokok. Kehadiran hukum internasional tentang pengendalian tembakau yang dibuat oleh Negara-negara anggota WHO dan ditujukan untuk melindungi kesehatan generasi sekarang dan yang akan datang yang dikenal dengan nama WHO-Framework Convention on Tobacco Control (WHO-FCTC) seharusnya kita terima sebagai sebuah rahmat. Meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengharapkan semua Negara menyetujui ide dan meratifikasi hukum internasional ini, namun tidak ada paksaan kapan suatu Negara harus mulai meratifikasi hukum internasional ini kedalam hukum nasionalnya. Hanya saja, ketika sudah ada 168 negara menandatangani (sebagai tanda menyetujui ide) dan 140 negara meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengkonfirmasi secara resmi atas WHO FCTC ini, Indonesia dimata dunia Internasional seperti Negara tidak punya kemauan untuk melindungi kesehatan mesyarakatnya karena tidak melakukan hal yang telah dilakukan hampir semua Negara anggota WHO. Indonesia tampak makin menjadi sebuah Negara yang memiliki Pemerintah yang kotor dan Pemerintahan yang buruk (dirty government – bad governance) karena tata kelola negara dan keuangan Negara yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan semakin jauh dari apa yang disarankan dalam pasal-pasal yang ada didalam FCTC. Ketika wakil dari Indonesia menghadiri pertemua konsultatif terakhir tentang FCTC di WHO – Jenewa tahun 2006 ini, wakil dari Indonesia sampai dipermalukan karena secara simbolik mendapat hadiah asbak (tempat meletakkan puntung rokok) –sesuatu yang susungguhnya amat menghinakan- karena Negara kita memiliki prevalensi merokok yang relative tinggi (sekitar 60 % penduduk laki-laki merokok) tapi belum menerapkan hukum tentang tembakau yang dirancang untuk melindungi kesehatan generasi sekarang dan akan datang. Meskipun di Indonesia sudah ada produk hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan, tetapi produk hukum ini terlalu longgar –khususnya jika dibandingkan dengan WHO-FCTC, dan serba dilanggar sehingga menjadikan Indonesia seperti Negara tanpa hukum tentang tembakau atau kesehatan.

Peran BPK

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan genap berumur 60 tahun pada tanggal 1 Jauari 2007, suatu usia yang seharusnya menjadikan BPK semakin dapat menjalankan misinya untuk mewujudkan diri sebagai auditor eksternal keuangan negara yang bebas dan mandiri dalam upayanya menjadikan Negara Indonesia bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sesuai dengan motto BPK yaitu “Pemerintah yang bersih dan Pemerintahan yang baik” (Clean Government – Good Governance). Untuk itu para pejabat BPK perlu memahami bahwa peraturan atau produk hukum atau kebijaksanaan publik dan tata kelola Negara dan keuangan Negara yang berkait dengan tembakau atau kesehatan yang disarankan oleh WHO-FCTC yang dikumandangkan tahun 2005 jika diratifikasi kedalam hukum nasional kita sebenarnya juga akan dapat membantu BPK melaksanakan perannya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Berikut adalah contoh contohnya. Dalam WHO-FCTC Bagian III pasal 6 dijelaskan cara-cara yang berkaitan dengan pengurangan permintaan (demand) atas tembakau. Pada Ayat 1 pasal ini semua Negara anggota WHO diminta untuk mengenali bahwa pengaturan harga dan pajak (tembakau) merupakan suatu cara yang penting untuk mengurangi konsumsi tembakau oleh berbagai segmen masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja. Pada Pasal 2 (a) semua Negara diminta menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pajak dan kebijaksanaan-kebijaksanaan harga atas produk tembakau sedemikian rupa sehingga dapat membantu pencapaian tujuan tujuan kesehatan yang ditujukan untuk mengurangi konsumsi tembakau. Negara yang bisa menjadi teladan dalam menerapkan pasal pasal ini –bahkan jauh sebelum WHO FCTC dikumandangkan antara lain adalah Kanada, Australia dan Brunei Darussalam. Tahun 1981, saat Harga Rokok Nyata atau HRN (Real Cigarette Price atau RCP) di Kanada adalah 0.9 US$, prevalensi merokok pria Kanada umur 15-19 tahun adalah sekitar 47 %. Dengan maksud mengurangi daya jangkau anak-anak dan remaja pada produk yang membahayakan kesehatan ini, setiap tahun Pemerintah Kanada menaikkan HRP-nya sehingga pada tahun 1991, saat HRP-nya mencapai sekitar 3,72 US $, prevalensi merokok pria Kanada umur 15-19 tahun sudah sangat turun menjadi hanya 16 %. Seorang ahli ekonomi kesehatan dari Center for Disease Control USA membantah bahwa peningkatan harga seperti itu akan sangat merugikan Negara yang ekonomi nasionalnya sangat tergantung pada industri tembakau. Menurutnya, meskipun peningkatan harga menurunkan omzet penjualan, tapi karena nilai nominal setiap penjualan meningkat, hasil kali dari jumlah rokok yang dijual dengan HRP-nya akan menghasilkanm jumlah yang lebih kurang sama, bahkan pada banyak contoh justru kebih besar. Namun, menurutnya manfaat yang penting bagi kesehatan masyarakat adalah anak-anak dan remaja serta orang miskin yang lebih peka terhadap kenaikan HRN akan lebih terlindungi dari ancaman bahaya merokok karena konsumsi mereka atas produk yang membahayakan kesehatan ini secara otomatis akan menurun. Australia, khususnya Negara bagian Victoria, merupakan contoh yang baik dalam hal pengendalian tembakau untuk melindungi kesehatan masyarakat, khususnya dalam hal tata kelola keuangan Negara yang bersumber dari pajak tembakau. Sejak tahun 1985 di Negara bagian itu diberlakukan Akta Tembakau (Tobacco Act), sebuah Undang-undang yang disamping berisi larangan iklan rokok dalam segala bentuk juga berisi peraturan untuk mengalokasikan sebagian –katakanlah sekitar 10 %- dari pajak tembakau untuk pendidikan atau promosi kesehatan- khususnya untuk pendidikan tentang bahaya merokok bagi kesehatan manusia. Alasan mereka sangat masuk akal, pajak adalah uang rakyat, seharusnya digunakan sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan rakyat, dan salah satu komponen penting dari kejahteraan rakyat adalah pendidikan kesehatan rakyat. Tahun 2002, hanya 2 minggu setelah Sultan Hassanal Bolkiah mengumumkan Brunei Darussalam menyatakan perang melawan merokok, harga berbagai merek rokok yang semula sudah sekitar 10 dolar Brunei (atau 50 ribu rupiah) dinaikkan menjadi 15 dolar Brunei dengan tujuan yang sama seperti apa yang dilakukan Pemerintah Kanada pada contoh diatas. Di Negara Negara yang pemimpinnya berwawasan kesehatan seperti Kanada, Australia dan Brunei Darussalam itu tentulah pekerjaan lembaga auditor eksternal atas tata kelola keuangan Negara -yang menyerupai BPK-nya Indonesia- akan lebih memiliki landasan untuk berperan optimal dalam memeriksa dan mengawasi tata kelola keuangan Negara yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan agar Negara tidak tercemar oleh praktek-praktek KKN yang berkaitan dengan tembakau dan kesehatan. Di Negara-negara seperti itu –sebagai contoh, pejabat tinggi ataui lembaga militer atau kepolisian Negaranya mungkin akan berpikir berkali kali sebelum mengijinkan pemasangan papan iklan (bill board) rokok raksasa seperti yang ada di atas atap sebuah Markas Angkatan Laut di Jalan Gunung Sahari- Senen Jakarta, atau di halaman depan markas Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya Jl, Jenderal Gatot Subroto - Jakarta. Jika pejabat tinggi Militer atau Kepolisian Negara disana melakukan apa yang dilakukan petinggi Militer atau Kepolisian di Indonesia, mungkin mereka akan diperiksa oleh lembaga semacam BPK dan menghadapai risiko dituduh melakukan KKN dengan industri tembakau. Lebih lanjut mereka bahkan bisa terkena sangsi hukum karena melakukan tindakan melawan hukum. Dengan kata lain, ratifikasi WHO-FCTC bisa membuat lembaga BPK mempunyai dasar hukum untuk mencegah KKN tembakau atau kesehatan. Sebaliknya, sangat kurangnya peran BPK kita dalam mewujudkan Pemerintah yang Bersih dan Pemerintahan yang Baik –utamanya bila dipandang dari masalah tembakau atau kesehatan- sedikit banyak disebabkan oleh karena lemahnya keberpihakan hukum kepada kesehatan masyarakat - salah satu komponen penting dalam kesejahteraan masyarakat- Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Agar BPK dapat berperan menjadi auditor eksternal keuangan negara yang bebas, mandiri, profesional, efektif, efisien, dan modern sesuai dengan praktik internasional terbaik untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN –khususnya yang berkaitan dengan tembakau atau kesehatan, maka semua lembaga pemerintah, termasuk BPK sendiri- perlu memberi dukungan penuh pada upaya para pembela pengendalian tembakau Indonesia agar Indonesia meratifikasi WHO-FCTC.
silahkan kirim email disini